Judul : Karnaval
Caci Maki | Penulis : Prima Sulistya W., dkk | Penerbit : EKSPRESI Buku |
Cetakan : Pertama, Januari 2012 | Halaman : 278 halaman | ISBN : 978-979-99631-5-4
(Dok. Internet)
|
Oleh : Eko Hari Setyaji
“Asu, Munyuk,
Bajingan, Bajigur, fuck, shit”
Mungkin
kata-kata semacam itu akrab di telinga kita. Semacam bentuk ungkapan perasaan
yang terucap secara spontan maupun terstruktur untuk menanggapi suatu keaadaan
yang dialami. Maki-makian atau dalam bahasa Jawa disebut misuh, kerap dilontarkan di sekitar saya, tak terkecuali saya
lakukan sendiri dengan sesuai konteks keadaan.
Agaknya
kegiatan mencaci maki atau misuh
telah mengakar jauh di bumi yang kita huni ini. Dalam cerita pewayangan Jawa,
ada tokoh bernama Sisupala yang merupakan sepupu dari Kresna. Sisupala dendam
terhadap Kresna karena calon istrinya, Rukmini, dilarikan Kresna untuk
diperistri. Demi membalaskan dendamnya, ia pun berguru dan mengabdi pada
Jarasanda. Dengan bantuan Jarasanda, Sisupala berhasil merebut tahta Kerajaan
Mathura, kerajaan milik ayah Kresna.
Syahdan, amarah
Sisupala pun meledak di Upacara Rajasuya yang digelar Yudhistira di Negeri
Kuru. Di bawah kepemimpinan Yudhistira, Negeri Kuru berhasil menaklukkan para
raja di Bharatawarsha. Para raja yang kalah dalam perang diundang ke upacara
Rajasura, tak terkecuali Sisupala. Yudhistira yang berbahagia ingin memberikan
hadiah kepada sahabatnya yang dianggap paling berjasa dalam kemenangan perang.
Ia meminta saran kepada kakek Bisma dan sepakat menunjuk Kresna sebagai orang
yang paling berjasa atas kemenangan perang. Mendengar pengumuman Yudhistira,
sontak Sisupala menolak keputusan tersebut dan memaki serta menghina Kresna. Sisupala
terhitung lebih dari seratus kali menghina dan memaki Kresna. (hlm 30)
Dari cerita
tokoh pewayangan tersebut, dapat ditarik suatu kesimpulan bahwa hasratlah yang
memancing makian terlontar. Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI) daring,
hasrat merupakan keinginan (harapan) yang kuat.
Teori Memaki
Beranjak dari
kisah pewayangan Jawa–yang memunculkan hasrat sebagai cikal munculnya makian–ke
ilmu pengetahuan, sejarah adanya makian berawal dari munculnya kata-kata.
Karena makian bagian dari sebuah kata-kata. Terdapat tiga teori besar yang
berkembang. Teori teologis, kata-kata berasal dari Tuhan; Teori naturalis,
kodrat dasar manusia ialah berkata-kata dan kata-kata sudah ada dalam diri
manusia; serta teori konvensionalis, lahirnya kata-kata karena ada kesepakatan
antara orang yang memakainya dalam konteks tertentu. (hlm 19)
Adanya ilmu
pengetahuan dan teori akan selalu berkembang menyesuaikan tingkat
intelektualitas manusianya. Akan ada banyak yang mendebat suatu teori dengan
teori lain. Agaknya dalam mendokumentasikan kumpulan esainya, teman-teman
Ekspresi UNY menganut teori konvensionalis itu. Caci maki merupakan bagian dari
sebuah konvensi dalam ruang, waktu, dan konteks tertentu. Dimana kata-kata
bermakna sangat beragam bergantung situasi yang berbeda.
***
Buku ini cukup
komplit dalam membahas makian, terutama dari sudut pandang linguistik dan
budaya. Secara pribadi, saya sudah merasakan hampir semua kata makian yang
terlontar dan dibahas buku ini. Namun didalam buku ini dijelaskan proses
lahirnya sebuah makian. Terdapat tiga bagian dalam buku setebal lebih dari 200
halaman ini; mekanisme makian, fenomena makian, dan persepsi atas makian.
Salah satu opini yang bisa diambil contoh
adalah mengenai bahasa Indonesia yang didesain sulit untuk dipakai memaki.
Memaki “seperti setan kau itu” tentu tidak lebih menyakitkan dibanding dengan “pukimak kau
itu.” (hlm 22)
Sama-sama memaki namun bisa menghasilkan kesan yang berbeda. Ini adalah
hasil dari politisasi dan ideologisasi pada bahasa Indonesia. Bahasa Indonesia kadung menjadi
simbol resmi dan formal yang bahkan sudah di doktrin sejak kita mengenyam
bangku sekolah dasar sehingga
kesannya lebih baik dan sopan. Sedangkan dalam bahasa daerah, pendekatannya
lebih ke historis dan kultur. Bahasa yang turun temurun dan apa adanya,
sehingga bebas dari kesan formal. Dan nyatanya juga bahasa daerah lebih ampuh
untuk digunakan daripada bahasa Indonesia. “Asu” lebih menohok
daripada “anjing”, “jancuk” lebih menohok daripada
“bersetubuh”, dsb…
Ada pula opini menarik mengenai terjadinya
diskriminasi gender dalam memaki. Dan diskriminasi ini masih terjadi sampai
sekarang. Laki-laki akan dianggap lumrah dan bisa dimaafkan secara moral jika
memaki. Namun tidak dengan perempuan. Laki-laki mengucap “anjing” atau “anjir”
itu biasa saja, namun perempuan akan dicap buruk jika mengucap kata yang sama (hlm 119). Diskriminasi pun berlanjut
dari subyek ke obyek makian. Contoh nya seperti makian yang cenderung memilih
istilah-istilah feminin seperti “motherfucker” bukan “fatherfucker”.
Atau anggapan pelacur yang kerap diartikan pada istilah WTS (wanita
tuna susila). Mengapa lelaki tidak ada istilah serupa? Padahal banyak pula
pelacur lelaki. Fenomena ini seakan mengamini bahwa makian adalah milik kaum
adam dan wanita adalah obyeknya. Jika ini masih terjadi, bukankah ini bukti
bahwa wanita masih dijajah laki-laki dalam lingkup bahasa?
Saya pribadi juga mengamini opini maraknya
makian luar negeri seperti “fuck”, “shit”, “asshole” yang
lambat laun menggeser makian-makian lokal. Impor makian barat ini selain dampak
masuknya budaya-budaya luar juga mempunyai fungsi untuk menghaluskan makian
agar tidak terlalu frontal (hlm 24). Saya kerap mengucap makian “shit” saat kesal dan kecewa dengan suatu keadaan. Dan itu memang
terkesan lebih halus di telinga orang lain.
***
Satu yang
mungkin menjadi kekurangan dari buku ini menurut saya adalah minimnya ilustrasi . Saya berpendapat mungkin karena ini merupakan buku
kumpulan esai yang membahas makian dengan “agak serius” jadi salah satu alasan
tak ada ilustrasi di dalamnya. Dengan mempelajari makian
dari berbagai sudut pandang, saya berpikir bahwa makian harus disikapi layaknya
pakaian. Kita dapat menggunakannya asal tahu tempat. Kata “jancuk” atau “cuk” bisa
dipakai sebagai panggilan sayang atau simbol keakraban antar teman. Namun jika
dipakai dalam forum resmi atau pada orang yang lebih tua, tentu bisa berakibat
fatal. Maka dari itu, kita perlu bijak dalam memilih makian, baik katanya,
tempatnya, waktunya, maupun yang menerimanya.
0 Comments: