Dok. Internet |
Oleh: Andi
Pagi itu, jam menunjuk pukul delapan lebih
seperempat. Melihat jam tersebut, Randi bersiap untuk berangkat ke sekolah. Tak
lupa ia memakai seragam dan sepatu, karena hari itu adalah hari yang penting di
sekolah, karena hari itu adalah hari pembagian rapor. Setelah melakukan ujian
akhir semester, waktunya menerima rapor. Persiapan telah selesai, ia lalu
menyiapkan sepedanya yang biasa mengantarnya ke sekolah. Sepeda usang, berwarna
putih dengan banyak goresan akibat banyak terjatuh ke tanah berbatu di jalan
menuju sekolahnya. Meski tampak usang, sepeda dari pemberian orang tuanya itu
sangat ia sayangi. Dengan sepeda itulah ia berangkat, sepeda yang mengantarkan
Randi menuju sekolah sejak ia berada pada kelas 5 SD. Berdoa dan salam tak lupa
ia lakukan sebelum keluar dari rumahnya, yang terletak diantara persawahan dan
perkebunan milik para tetangganya.
Hawa pagi itu terasa sejuk, meski sang surya
sudah menampakkan wajah cerianya di angkasa. Dengan perasaan senang, ia mulai
beranjak ke jalanan dengan sepeda usangnya. Asap dari knalpot motor di jalanan
serta suara klakson mobil menghiasi perjalanan randi ke sekolah. Tak lupa ia
menyapa para tetangga yang berembol ke sebuah sepeda motor yang penuh dengan
sayur dan lauk.
“Pagi.
bu” ucap Randi dengan penuh senyum di wajahnya.
“Eh,
Randi” kata salah satu ibu-ibu yang ada digerombolan itu,
“Mau berangkat
sekolah? Kok siang berangkatnya?” tanya ibu-ibu tetangga yang lain,
“iya bu, soalnya
hari ini Cuma ambil rapor, jadi berangkat siang. Mari bu, mas sayur” Kata Randi
sambil beranjak pergi ke arah sekolahnya.
Melewati
persawahan yang luas disisi jalan raya yang dipenuhi padi yang hampir siap
untuk dipanen, lalu melintas di perumahan yang jalannya tidak terlalu agar
lebih aman berkendara dengan sepedanya. Tak terasa, mengalirnya keringat dari
dahi randi menuju dagu melewati samping wajah, tetap ia kayuh sepeda itu. Di
ujung perumahan tersebut, ada sebuah jalan kecil yang biasa Randi lewati untuk
menuju sekolah. Ditambah turunan dan melewati jembatan diatas sungai, jalanan
tersebut biasa dilalui oleh Randi. Suara burung berkicau di pagi hari yang
entah milik siapa, suara angin di balik dedaunan pohon disamping sungai, dan
suara aliran air sungai yang mengalir dengan tenang menjadi senandung yang
merdu di telinga Randi disela-sela menghela napas karena telah mengayuh
sepedanya sejauh lima kilometer dari rumahnya. Yap, jarak antara rumah Randi
dan sekolahnya berkisar lima-enam kilometer, yang ditempuh dengan sepeda.
Setelah melewati
Jalan pintas tersebut, ia kembali mengayuh sepedanya sekitar 500 meter dan
sampailah pada sekolahnya. Dari jauh terlihat gerbang depan sekolah yang
diatasnya bertuliskan “SMPN 24 MALANG”. Sesampainya didepan gerbang sekolahnya,
ia disambut oleh seorang satpam yang biasa bertugas menjaga gerbang depan dan
kerumunan dari orang tua murid lain yang seangkatan dengan Randi. Berjalan
melewati kerumunan para orangtua demi sampai pada parkiran untuk memarkirkan
sang punggawanya, membuat Randi mencucurkan keringat. Grak, suara penyangga
sepeda milik Randi yang sudah usang, namun tetap tertata rapi meski jumlah
sepeda tidak seperti biasa.
Sesak, panas,
dan capek. Hal itu yang dirasakan oleh Randi ketika hendak menuju kelasnya,
melewati lapangan basket yang penuh dengan motor dan para orang tua yang hendak
mengambil rapor anaknya. Terlihat dari lapangan tersebut, ada sebuah papan di
atas pintu yang bertuliskan “8 C”, ruang kelas yang selama setahun terakhir,
menjadi tempat belajar Randi selama di sekolah. Kursi dan meja kayu yang telah tertata rapi, serta beberapa
hiasan di meja guru, telah nampak dari depan
tersebut. Sembari menunggu hingga pukul Sembilan lewat 30 menit ia
berbincang dengan teman sekelas. Laki-laki maupun perempuan ia ajak bicara.
Selain itu para orang tua juga sudah masuk satu persatu ke dalam kelas sembari
menunggu wali kelas membawa rapor ke dalam kelas.
Tak lama
menunggu, wali kelas pun datang sambil membawa tumpukan rapor yang hendak
dibagikan. Bu Lina adalah panggilan yang biasanya di lontarkan untuk memanggil
nama beliau baik itu dari kalangan guru maupun siswa. Lantas dimulai olehnya,
mulai dari penjelasan bagaimana nilai itu diambil, hingga menjelaskan yang
masuk rangking 10 besar. Lalu pemanggilan wali murid pun dimulai, mulai dari
absen pertama hingga seterusnya. Randi dan teman-temannya pun hanya bisa
menunggu di luar kelas dengan sesekali melirik kedalam lewat jendela kelas.
Lalu satu persatu wali murid pun keluar membawa rapor milik anaknya, dan salah
satu temannya yang merasa itu wali nya mulai menghampiri.
“Randi dan
lainnya, aku duluan ya, ayahku udah keluar” Kata salah satu teman Randi yang
orang tuanya meninggalkan ruangan itu pertama kali.
“Aku juga ya,
itu orang tuaku juga udah mau keluar” Kata temannya yang hendak menyusul orang
tuanya.
Berbagai respon
dari orang tua yang menerima rapor dari teman-teman Randi. Ada yang marah,
diam, senang, bangga dan lain-lain. Hal itu membuat tawa kecil di wajah Randi
yang biasa disembunyikan. Randi pun
menunggu hingga orang tua yang terakhir pun keluar.
“Lha orang tua
mu mana. Ran?” Kata teman Randi yang orang tuanya dipanggil terakhir.
“Biasa, mereka
kerja” Balas Randi dengan tawa terpaksanya.
“Oalah, ya udah
kalau begitu, aku duluan ya, sudah dipanggil sama ayahku.” Pamit temannya.
“Iya, hati-hati
dijalan sob” Ucap Randi.
Tak terasa
sekolah pun sudah menjadi sepi, yang tadi dipenuhi dengan orang tua dan para
siswa, menjadi sepi seperti kuburan sebelah sekolahnya. Hanya terdengar suara
bincang dari ruang guru. Tak lama terdengar suara bu Lina, memanggil dari dalam ruang kelas.
“Seperti tahun
lalu dan semester lalu ya Ran?” Tanya bu Lina.
“Iya bu” jawab
Randi denga hiasan tawa tak bersalah di bibirnya.
“Yasudah, ini rapornya
dan jajannya, Selamat ya, semester ini peringkatmu naik jadi 7 besar,
tingkatkan terus ya”. Kata Bu Lina sembari menyemangatinya.
“Iya bu, Makasih
banyak ya bu, saya pamit pulang.” Ucap Randi yang hendak meninggalkan ruang
kelas.
“Iya, hati-hati
dijalan ya”. Ucap Bu Lina.
Pertanyaan yang
biasa, ketika rapor sudah dilontarkan oleh Bu Lina kepada Randi. Seperti
semester lalu dan tahun lalu saat masih menjadi siswa kelas 7 di sekolah itu.
Tiap semester saat rapotan, menurut Randi tidak ada yang spesial. Tidak ada amukan
ataupun rasa bangga dari orang tua yang seperti dirasakan oleh teman- temannya.
Kedua orangtuanya memutuskan untuk merantau keluar dari pulau Jawa untuk
mencari penghidupan yang lebih baik, yang saat itu Randi masih berada di bangku
kelas 5 SD. Hanya ada kakaknya yang masih bersekolah dan Randi yang ada di
rumahnya, tak ada kerabat. Meski dapat menjalin komunikasi lewat telepon, namun
respon orangtuanya tidak seperti yang diharapkannya. Biasa saja. Sedikit
menyimpan kesedihan, kekecewaan, kemarahan yang tak dapat diluapkan menjadikan
Randi seorang anak yang pendiam. Meski begitu, Randi tetap yakin bahwa dengan
keputusan orangtuanya, bisa menjadikan Randi sebagai seseorang yang lebih baik
dari yang lain. Dan Randi pun tetap selalu mendoakan orangtuanya agar
senantiasa dijaga oleh Tuhan.
0 Comments: