Potret suasana diskusi dalam rangkaian acara Pesta Film Solo #8 di Taman Budaya Jawa Tengah pada Kamis (03/05/2018) (Dok, VISI/Ade Uli). |
Lpmvisi.com,
Solo
- Suguhkan puluhan film dalam ajang pesta Film Solo, Kine Club tawarakan salah
satu film dokumenter kritis yang bertema transgender di antara tiga film utama
lainya.
Selama tiga hari, Kine Club Fakultas Ilmu Sosial dan
Politik (FISIP) Universitas Sebelas Maret (UNS) akan menggelar Pesta Film Solo
di area Taman Budaya Jawa Tengah (TBJT) Surakarta. Acara tersebut berlangsung
mulai hari Kamis (03/05/2018) hingga Jumat (05/05/2018).
Pada sesi ketiga malam itu (Kamis, pukul 19:00 WIB)
Kine menayangkan salah satu film utama yang berjudul “Bulu Mata” karya Toni
Trimarsanto. Kemudian dilanjutkan dengan diskusi film tersebut. Sedikit
berbicara mengenai film ini, “Bulu Mata” adalah sebuah film dokumenter yang
mengangkat kisah kehidupan sekelompok waria atau transgender di Kota Serambi Mekah,
Banda Aceh. Film yang dibuatnya sendiri selama kurang lebih satu tahun itu
mengupas bagaimana mereka (para transgender) menjalani kehidupan di sebuah kota
dengan beberapa peraturan yang dianggap kurang memihak terhadap kaum seperti
mereka. Dalam film tersebut, disajikan banyak pengalaman mereka termasuk dalam
hal mencari tempat tinggal, mencari nafkah, kemudian sampai hal mendapatkan
KTP. Tidak hanya dari Sisi tersebut, film berdurasi 60 menit itu juga
memberikan kisah tanggapan keluarga mereka terhadap keputusan yang mereka buat.
Setelah itu, acara dilanjutkan dengan sesi diskusi
bersama Sang Empu filmnya dan pihak Lembaga Sensor Film (LSF) Indonesia yang
diwakili oleh Zaitunah Subhan. Pemilihan isu transgender untuk mewakili salah
satu sub tema acara Pesta Film Solo #8 ini agaknya begitu menarik antusias para
penonton yang ikut serta berdiskusi. Terlihat banyak yang kemudian memberikan
tanggapan dan pertanyaan akan film tersebut dalam sesi diskusi. Sutradara Film Bulu
Mata banyak menceritakan mengenai latar belakang dan tujuan dari pembuatan film
Bulu Mata ini. Diskusi tersebut juga diimbangi dengan memunculkan sisi penting
dari adanya LSF Indonesia. Pada kesempatan itu, Zaitun selaku Ketua Komisi II Bidang
Hukum dan Advokasi LSF membenarkan bahwa tujuan edukasi dari film gubahan Toni
tersebut sangat kentara. Tujuan akhir pembuatan film tersebut berkenaan dengan
bagaimana menyadarkan keluarga serta masyarakat sekeliling terhadap orang-orang
atau bagian dari keluarganya yang transgender.
Pesta Film Solo #8 kali ini memilih tema “Suara
Sinema”. Tema ini merepresentasikan isu-isu yang terjadi di lingkungan Si Pembuat
Film sendiri ataupun idealisme-idealisme mereka sendiri. Kemudian panita membagi
tema besar tersebut dalam tiga subtema, yaitu permasalahan dari diri sendiri,
permasalahan kelompok, dan permasalahan suatu tempat (lingkungan).
“Malam ini membahas (sub tema -red) pemasalahan di suatu tempat. (Film “Bulu Mata” –red) adalah sebuah kisah sekelompok transgender
daerah di Banda Aceh masuk di situ”, papar Ferlita selaku Ketua Panitia Pesta
Film Solo #8. Kemudian ia juga menambahkan, “isu gender dipilih dengan alasan
bahwa masalah tersebut adalah masalah yang sedang ramai diperbincangkan dan menjadi
satu masalah yang sering dibahas akhir-akhir ini.”
Raihana, mahasiswa yang menjadi salah satu penonton
dan peserta diskusi sesi tersebut mengaku banyak hal yang didapat dari
mengikuti sesi ketiga rangkaian PFS ini.
“Saya mendapat sudut pandang baru mengenai transgender
dan bagaimana mereka menjalani keseharianya di daerah yang kurang bisa menerima
mereka sepenuhnya. Yang lain, mengetahui permasalahn mengenai film dan etika
mengenai film tersebut serta bagaimana cara kerja LSF juga,” ungkapnya pada VISI. Ia juga beranggapan bahwa acara sepert
PFS penting untuk diselenggarakan guna mengedukasi masyarakat.
Sejalan dengan apa yang disampaikan Toni selaku sutradara
film tersebut bahwa sejatinya setiap film itu bisa dilihat sisi edukasinya.
Terlepas dari bahasan bagaimana menariknya sesi
tersebut, Kine Club masih memiliki pada hari Jumat (04/05/2018) hingga Sabtu (05/05/2018)
untuk segala rangkaian acara yang telah disiapkan matang sejak akhir November
2017. Kine telah menyiapkan enam pembicara sekaligus satu komunitas film untuk
tiga hari penyelenggaraan PFS.
Sedangkan untuk kendala yang dialami panitia dalam
mewujudkan event ini adalah berkenaan
dengan jadwal para elemen pendukung, baik itu dari pembicara atau narasumber, para
kurator, serta para panitia sendiri –yang masing-masing di antara mereka
memiliki kesibukan yang berbeda-beda.
“Semoga tahun depan bisa mengundang pembuat film
dari luar negeri,” pungkas Ketua Panitia Pesta Film Solo #8. (Ade
Uli)
0 Komentar