(Dok. Internet) |
Oleh : Fajrul Affi Zaidan Alkannur
Perilaku politik
masyarakat yang maju dan modern tidak cukup ditandai dengan partisipasi politik
tetapi juga ditandai dengan keterikatan politik. Indonesia, bangsa yang ingin merealisasikan iklim
demokrasi yang berkualitas, harus
melakukan proses pendidikan politik yang benar-benar mampu untuk mewujudkan partisipasi politik dan keterikatan politik secara
optimal. Dengan demikian, dapat dirasakan
pesta demokrasi yang benar-benar
menjamin tercapainya kesejahteraan bagi bangsa Indonesia. Karena sejatinya Pemilihan Umum (Pemilu)
bukan termasuk tujuan negara, melainkan salah satu sarana untuk mewujudkan
kesejahteraan bagi bangsa Indonesia.
Tulisan ini akan
mencoba melihat apa dan bagaimana partisipasi
politik dan keterikatan politik bagi bangsa Indonesia khususnya di kalangan kaum muda.
Definisi umum dari
partisipasi politik adalah kegiatan seseorang atau kelompok orang untuk ikut
serta secara aktif dalam kehidupan politik dengan jalan memilih
pimpinan negara dilakukan secara langsung atau tidak langsung memengaruhi
kebijakan pemerintah (Miriam Budiardjo, 2017 : 367).
Anggota masyarakat
dapat berpartisipasi dalam proses politik melalui pemberian suara atau kegiatan
politik lainnya. Mereka berkeyakinan, melalui
partisipasi tersebut,
mereka dapat memengaruhi tindakan yang berwenang dalam mengambil keputusan.
Partisipasi politik sendiri erat hubungannya dengan kesadaran politik.
Kesadaran seperti ini awalnya muncul dari orang yang berpendidikan, memiliki
kehidupan yang baik,
dan orang-orang yang terkemuka. Kesadaran tersebut timbul dari latar belakang
sesorang itu sendiri. Adapun alasan seseorang
tidak berpartisipasi, yaitu dikarenakan protes terhadap pemerintah
yang berkuasa atau karena mereka
berpendapat bahwa keadaan yang ada terlalu buruk dan siapapun yang dipilih
tidak akan
mengubah keadaan. Di sisi lain terdapat keterikatan
politik, yaitu keterikatan masyarakat pada politik.
Keterikatan masyarakat pada politik menimbulkan
kesadaran dan melek
politik yang meyakinkannya bahwa sikap politik yang ia ambil
akan berpengaruh terhadap penyelenggaraan negara. Dari situlah muncul suatu sistem
yang memiliki beberapa unsur yang saling berkaitan
antara satu dengan lainnya.
Keterikatan
politik memiliki perbedaan dengan partisipasi
politik. Keterikatan politik
memiliki cakupan yang lebih luas,
termasuk di dalamnya
partisipasi politik, pemberdayaan politik, akses politik, dan sosialisasi politik.
Sekarang ini,
politik sudah menjadi perbincangan sehari-hari di berbagai tempat umum. Orang-orang pun tidak takut maupun sungkan mengungkapkan preferensi politiknya. Hal tersebut menunjukkan tingkat keterikatan politik
masyarakat saat ini cukup tinggi dan kini politik tidak hanya konsumsi
kelompok elite.
Perbedaan keterikatan politik dan
partisipasi politik juga
tercermin dalam proses Pemilu yang menunjukkan
keduanya tidak berkorelasi positif. Faktanya, saat Orde Baru tingkat
partisipasi dalam Pemilu
hampir 100% namun tingkat keterikatan politik
terbilang rendah. Sebaliknya, di Era Reformasi, tingkat partisipasi dalam Pemilu hanya berkisar 75% tetapi tingkat keterikatan politik
lebih tinggi dibandingkan masa Orde Baru. Hal ini bisa terjadi karena indikator
seseorang terlibat dalam politik tidak
hanya dinilai melalui
keikutsertaannya dalam Pemilu
tetapi juga melalui kegitan
lain seperti diskusi publik, jajak pendapat, petisi, dan sebagainya. Menurut
Robert Putnam, keterikatan politik
yang besar adalah modal bagi demokrasi untuk mengakar di masyarakat.
Masyarakat bisa
berperan aktif dalam politik tetapi, karena alasan tertentu, mereka tidak datang
memberikan suara saat pemilihan umum atau sering disebut golongan putih (golput). M. Saekan Muchith (2017), dalam
makalah berjudul “Membangun
Kesadaran Berpolitik Masyarakat,
menjelaskan bahwa apatisme atau rendahnya partisipasi politik masyarakat
disebabkan oleh empat faktor yaitu: Pertama,
Faktor Sosiologis, yaitu tidak ada tokoh atau orang di sekitarnya yang bisa
dijadikan contoh atau memberi penjelasan tentang apa yang seharusnya dilakukan
dalam Pemilu. Rendahnya partisipasi
dalam Pemilu lebih disebabkan
kurangnya sosialisasi dari pihak
pihak yang terkait. Kedua, Faktor
Administratif, yaitu rendahnya atau tidak tertariknya masyarakat terhadap Pemilu disebabkan karena
masyarakat tidak tercantum atau tidak terdaftar sebagai pemilih atau pemberi suara. Ketiga, Faktor Politis, yaitu rendahnya
kesadaran masyarakat terhadap pemilu disebabkan karena masyarakat tidak
mengetahui apa makna Pemilu
bagi kehidupan masyarakat.
Keempat, Faktor Rasional Politis,
yaitu rendahnya kesadaran berpolitik masyarakat disebabkan karena masyarakat
memiliki kesadaran dan pemahaman yang kuat bahwa calon-calon yang ikut dalam proses
Pemilu tidak memiliki
kualitas dan integritas
yang sesuai dengan harapan.
Partisipasi politik
dan keterikatan politik
harus sepenuhnya dipahami dan dijalankan secara benar oleh masyarakat, terutama generasi milenial
yang didominasi oleh kaum muda. Hal ini sangat penting bagi kaum millennial, yang dianggap aktif dan melek
informasi,
sebagai proses pembelajaran demokrasi yang
mampu menciptakan kehidupan demokrasi yang lebih baik di
Indonesia. Menurut data dari Badan Pusat Statistik (BPS) pada tahun 2019, jumlah pemilih pemula
mencapai 60 juta orang. Jumlah ini sekitar 30% dari total pemilih dalam Pemilu 2019 yaitu sekitar 196
juta orang. Berdasarkan survey dari CSIS (Centre for Strategic
and International Studies) dan Survey Cyrus Network, jumlah partisipasi pada Pemilu 2014 hanya 70% sehingga angka ketidakikutsertaan dalam
Pemilu mencapai angka 30%.
Hal tersebut sangat ironis, mengingat Indonesia merupakan negara demokrasi
namun angka partisipasi politiknya masih rendah. Selain itu, dengan peningkatan
keterikatan politik
dapat menjadi proses check and balances
di luar lembaga legislatif terhadap kinerja pemerintah dalam menyelenggarakan negara.
Jangan sampai generasi
penerus bangsa menjadi orang-orang yang apatis dan tidak peduli akan persoalan politik dan negara.
Maka dari itu, kita harus mempersiapkan generasi milenial sebagai generasi
penerus yang melek politik, mampu
berperan aktif,
serta memiliki keterikatan politik.
Dengan begitu, kelak proses
demokrasi bisa dikelola secara lebih baik dibandingkan sekarang ini.
0 Comments: