(Dok. Internet) |
Oleh : Fajrul Affi Zaidan Al Kannur
Manusia merupakan makhluk yang paling
sempurna diantara makhluk ciptaan tuhan lainnya karena dianugerahi akal.
Manusia juga memiliki keistimewaan berupa hak-hak dasar yang sudah melekat
dalam diri manusia sejak dalam kandungan, bersifat universal dan ketika lahir
di dunia diakui oleh semua orang. Hak - hak dasar ini sering kita kenal dengan
Hak Asasi Manusia (HAM). HAM adalah hak yang diberikan Tuhan kepada manusia
secara langsung. Karna itu, tidak ada kekuatan apapun di dunia yang mampu untuk
mencabutnya. Namun pada praktiknya, ada banyak sekali pelanggaran Hak Asasi
Manusia yang terjadi di berbagai penjuru dunia. Pelanggaran HAM tersebut
dilakukan semata-mata untuk kekuasaan dan kepentingan pribadi.
Baru-baru ini, terjadi sebuah peristiwa
yang disinyalir terdapat unsur pelanggaram HAM. Kasus penangkapan Robertus
Robet, aktivis HAM sekaligus dosen Sosiologi Universitas Negeri Jakarta merupakan
sebuah ancaman terhadap kebebasan berekspresi yang merupakan hak asasi manusia.
Penangkapan Robertus dilakukan lantaran orasinya di Aksi Kamisan yang dilakukan
Kamis (28/2/2019), dianggap melanggar
pasal 207 KUHP tentang penghinaan terhadap penguasa atau badan umum yang ada di
Indonesia. Dan karna itu, Robertus sudah ditetapkan sebagai tersangka. Akibat dari
peristiwa ini, muncul berbagai tanggapan dan reaksi dari lapisan masyarakat
yang menganggap telah terjadi pelanggaran HAM kaitannya dengan kebebasan
berpendapat atau berekspresi. Hal inilah yang membuat penulis tertarik untuk
menguliknya lebih jauh.
Penangkapan Robertus yang bermula ketika
orasinya dalam Aksi Kamisan dianggap telah menghina citra dan martabat dari
Tentara Nasional Indonesia (TNI) sebagai institusi negara. Robertus diduga menghina
TNI dengan memelesetkan lirik lagu Mars ABRI saat dirinya berorasi. Lagu yang
populer dikalangan aktivis dan mahasiswa pada zaman Orde Baru. Saat itu lagu
ini sangat lumrah untuk dinyanyikan. Dalam aksi itu Robertus juga menyuarakan
aspirasinya untuk menolak isu kebijakan Dwifungsi TNI yang sempat diisukan akan
dimunculkan kembali.
Jika dilihat dari konteksnya, lagu yang
dinyanyikan Robertus sebetulnya memiliki makna agar kita kembali mengingat dan
bercermin pada zaman orde baru dimana masuknya militer dalam ranah sipil
bukanlah keputusan yang baik karena dapat mengancam kedamaian kehidupan sipil.
Jadi lagu yang dinyanyikan Robertus tidak bertujuan untuk menghina TNI, namun untuk
mengingatkan kepada pemerintah dan kita semua bahwa Dwifungsi TNI bukanlah kebijakan
yang baik dan karna itu dirinya mewanti-wanti untuk tidak diterapkan lagi saat
ini. Namun naas bagi Robertus, niat yang baik itu justru tidak ditangkap dengan
baik pula. Sehingga, berujung pada penangkapan dirinya dan sekarang ini berada
dalam bayang-bayang ancaman pidana.
Dari peristiwa ini, kita bisa menarik
sebuah fakta bahwa pemerintahan saat ini terlalu sensitif terhadap kritik dan
terkesan ingin menjaga wibawanya dengan tidak mau disalahkan atau dikritik
terhadap kebijakan yang akan mereka ambil. Selain itu, kepolisian terkesan
kurang kerjaan karena sibuk berkutat dengan kasus-kasus yang tidak penting,
ketimbang mengusut dan menyelesaikan kasus besar yang menyangkut hajat orang
banyak. Dari sini kita bisa melihat berbagai macam kepentingan yang akhirnya
mengantarkan Robertus Robet menjadi tersangka dalam kasusnya.
Dalam falsafah kepemimpinan jawa terdapat
tiga ajaran yang bisa digunakan pemerintah dalam menanggapi permasalahan ini.
Pertama, mulat laku jantraning angkasa yang
memiliki pengertian bahwa pemimpin harus meneladani langit yang luas tak
terbatas hingga mampu menampung segala benda angkasa. Maknanya adalah pemimpin
dalam hal ini adalah pemerintah harus memiliki ketulusan hati, mampu
mengendalikan perilaku dan tindakannya, serta sanggup menampung seluruh
aspirasi atau keluh kesah dari seluruh rakyat. Jadi, dalam konteks kasus
Robertus Robet pemerintah yang bertindak sebagai pemimpin harusnya mampu
mengendalikan perilaku dan tindakannya dengan tidak gegabah melakukan
penangkapan ada seseorang yang mengkritik pemerintah. Selain itu, pemerintah
juga harusnya sanggup menampung aspirasi dan keluh kesan dari rakyatnya,
apalagi aspirasi yang dilontarkan Robertus Robet bertujuan baik yaitu
mengingatkan pemerintah terhadap kebijakan yang akan diambilnya.
Kedua,
Momot yang memiliki pengertian bahwa
pemimpin harus memiliki jiwa samudra yang bukan hanya sekedar mampu menampung
segala pujian, namun juga kritik yang membangun. Maknanya adalah pemerintah
tidak boleh sensitif terhadap kritikan karena pemerintah sebagai pemimpin tidak
boleh hanya menerima pujian namun juga harus mau menerima kritikan. Maka dari
itu penangkapan terhadap Robertus Robet bisa mengindikasikan bahwa pemerintah
tidak mau dikritik dan memilih untuk memenjarakan para pengkritiknya.
Ketiga,
Peksi yang memiliki arti bahwa
pemimpin harus bertindak independen dan tidak terikat oleh kepentingan satu.
Lebih jauh lagi, pemimpin tidak mudah diintervensi oleh pihak manapun.
Kaitannya dalam kasus Robertus, terdapat kemungkinan bahwa pihak yang merasa
tersudutkan akibat kritik tersebut mempunyai kekuatan yang mampu mempengaruhi
keputusan dari pemerintah sehingga akhirnya Robertus pun ditangkap. Maka dari
itu seharusnya agar pemerintah bisa menepis itu semua pemerintah harus berlaku
bijak dan adil.
Dari
fakta-fakta yang ada, peristiwa yang menimpa Robertus Robet sepatutnya tidak
terjadi. Peristiwa ini hanya akan menjadi preseden buruk bagi kehidupan
demokrasi bangsa Indonesia. Demokrasi yang kita harapkan adil, maju dan lebih
baik justru mengalami kemunduran akibat peristiwa ini. Tindakan dan kritik yang
dilontarkan Robertus tidak pantas mengantarkannya masuk kedalam jeruji besi, Untuk
itu, sudah seyogyanya pihak kepolisian harus bertindak secara adil dan profesional
agar polemik ini tidak berlarut-larut dan mengantisipasi kekacauan di tengah
masyarakat.
0 Komentar