dok. Internet |
Oleh : Fajrul Affi Zaidan Al Kannur
Ketika membicarakan soal rokok pasti yang muncul ialah
sebuah dilema. Kata “dilema" memang cocok untuk menggambarkan pro-kontra
terkait keberadaan rokok masih terus berlanjut hingga sekarang. Awal mula
penemuan rokok yang digunakan sebagai obat untuk menyembuhkan penyakit sekarang
ini mulai bergeser. Stigma yang terjadi sekarang ini menggambarkan bahwa rokok
ialah suatu barang yang berbahaya dan mampu membahayakan kesehatan manusia, bahkan
di iklan dan kemasan rokok pun sudah terpampang tulisan “Rokok Membunuhmu”.
Memang sangat drastis perbedaan gambaran tentang rokok dahulu dengan sekarang,
mengingat bahan dan kegunaan rokok dahulu dengan sekarang yang mungkin juga
berbeda.
Namun, terlepas dari stereotip tentang rokok yang terjadi,
harus diakui industri rokok juga memiliki peran besar terhadap Negara, yaitu
sebagai sumber terbesar pendapatan Negara dari sektor pajak. Ini menjadi bukti
bahwa keberadaan rokok menjadi dilema bagi kita semua, satu sisi membahayakan
kesehatan manusia di lain sisi juga membantu pendapatan Negara.
Jumat (13/9/2019) setelah mengadakan rapat pemerintah
memutuskan menaikkan tarif cukai rokok sebesar 23 persen. Kenaikan cukai rokok
ini akan mempengaruhi harga jual rokok eceran yang ikut naik hingga 35 persen.
Dilansir dari kompas.com Menteri
Keuangan Sri Mulyani mengungkapkan kenaikan tarif cukai rokok ini berdasarkan
tiga pertimbangan, yakni mengurangi konsumsi, mengatur industri rokok, dan
meningkatkan penerimaan Negara. Lantas apa saja dampak yang terjadi akibat
kebijakan baru ini? berikut kemungkinan – kemungkinan yang terjadi akibat kebijakan
baru ini.
Pertama, mengurangi konsumsi. Sri Mulyani mengungkapkan prevelensi
jumlah orang yang menghisap rokok meningkat terutama pada anak-anak dan remaja,
maka dengan kenaikan harga rokok diharapkan jumlah konsumsi rokok menurun,
dengan asumsi semakin mahal harga rokok, maka orang akan berpikir dua kali
untuk membeli rokok. Namun tujuan dari kebijakan ini nampaknya tidak akan
terwujud melihat realita dilapangan bukanlah demikian. Dengan kenaikan harga
rokok sebesar 35 persen, para perokok tidak akan meninggalkan rokok, yang
terjadi ialah perokok akan beralih ke produk rokok yang lebih murah, ngelinting
dewe (melinting sendiri), atau bahkan membeli rokok ilegal yang terjangkau oleh
kantong mereka. Melihat fenomena ini yang terjadi bukannya tingkat konsumsi
rokok menurun, tetapi justru memunculkan permasalahan baru dengan maraknya
peredaran rokok ilegal akibat permintaan pasar yang meningkat.
Kedua, mengatur industri rokok. Alih alih mengatur industri rokok kebijakan ini
justru akan mematikan industri rokok dan menghilangkan mata pencaharian
orang-orang yang bergantung pada industri rokok ini. Dengan harga yang terus
naik daya beli masayarakat akan berkurang, akibatnya pandapatan akan berkurang
dan memaksa industri rokok untuk gulung tikar. Hal ini sangat mungkin dirasakan
industri rokok kecil dan menengah. Selain itu, tingginya harga rokok membuat
tingkat serapan industri rokok rendah, akibatnya serapan bahan baku rokok
seperti tembakau dan cengkeh juga rendah. Pihak yang paling dirugikan dalam hal
ini ialah petani cengkeh dan tembakau. Data dari kementrian Pertanian tahun
2018 produksi tembakau lokal sebanyak 171.360 ton dan hampir seluruhnya diserap
oleh industri rokok. Sedangkan, produksi cengkeh pada tahun 2017 mencapai lebih
dari 140.000 ton dan hampir 90 persen juga diserap industri dalam negeri
sebagai bahan baku rokok. Jika, harga rokok naik dan daya serap industri rokok
terhadap cengkeh dan tembakau menurun, lagi-lagi yang dirugikan ialah petani.
Oligopoli Industri
Rokok
“Hidup segan mati tak mau” mungkin kalimat itu tepat untuk
menggambarkan industri rokok kecil-menengah. Dengan kenaikan cukai rokok otomatis
mau tidak mau mereka harus menaikkan harga rokok, dengan konsekuensi mereka
kehilangan konsumen karena konsumen lebih memilih untuk membeli rokok lain yang
lebih murah. Selain itu, kenaikan harga rokok ini juga berpotensi menimbulkan
monopoli, karena jikalau banyak industri rokok yang gulung tikar dan hanya
menyisakan industri – industri besar, akibatnya mereka bisa menguasai pasar dan
memainkan harga sesuai keinginan mereka. Bila ini terjadi maka persaingan di
industri rokok sudah tidak sehat lagi.
Hal ini tentunya berkaitan dengan pernyataan Sri Mulyani yang ketiga, mengenai meningkatkan penerimaan Negara. Dengan menaikkan tarif
cukai rokok diharapkan penerimaan Negara juga meningkat. Mungkin logika ini
sedikit bertolak belakang dengan tujuan dari kebijakan ini, yaitu untuk
mengurangi tingkat konsumsi rokok. Asumsinya, walaupun tarif cukai rokok naik,
jika tingkat produksi berkurang. Maka, tingkat pendapatan juga akan sama saja,
atau justru menurun penerimaannya. Maka, menurut penulis pertimbangan menaikkan
tarif cukai agar penerimaan Negara meningkat bisa jadi tidak akan tercapai.
Langkah pemerintah untuk menaikkan tarif cukai rokok
sebetulnya memiliki tujuan yang baik. Namun, jika tidak dibarengi dengan
perencanaan yang matang justru dapat memunculkan permasalahan baru. Menaikkan
tarif cukai rokok otomatis akan menaikkan harga rokok. Hal ini bisa mengurangi
tingkat konsumsi rokok, namun juga bisa menimbulkan masalah baru seperti
maraknya peredaran rokok ilegal. Karena seorang perokok tidak akan begitu saja
berhenti merokok hanya karena mahalnya harga rokok, mereka akan memutar otak
dengan membeli rokok ilegal yang lebih murah atau melinting rokok sendiri. hal
ini telah terbukti ketika tahun lalu pemerintah menaikkan tarif cukai rokok
untuk mengurangi tingkat konsumsi, hasilnya pun kurang signifikan.
Masalah lain yang ditimbulkan akibat kenaikan cukai
rokok ialah, banyak industri rokok khususnya industri kecil-menengah akan gulung
tikar. Ketika banyak industri rokok yang gulung tikar, maka otomatis daya serap
industri rokok terhadap bahan baku rokok seperti tembakau dan cengkeh akan
berkurang dan yang akan dirugikan adalah petani, jika petani kehilangan mata
pencahariannya maka pengangguran akan bertambah dan kemiskinan akan meingkat.
Rantai kehidupan seperti ini akan terus berurutan. Maka dari itu, pemerintah
perlu berhati-hati dalam menetapkan kebijakan dan dibarengi dengan perencanaan
yang matang. Selain itu dalam menetapkan kebijakan seyogyanya pemerintah juga
melibatkan pihak-pihak yang terkait, misalnya dalam hal ini ialah pelaku
industri rokok, perokok, petani cengkeh, dan juga petani tembakau.
0 Comments: