Lpmvisi.com, Solo- 15 tahun berlalu, pembunuhan aktivis Hak Asasi Manusia (HAM) Munir masih menyimpan misteri dibaliknya. Alasan inilah yang yang menjadi salah satu alasan bagi Badan Eksekutif (BEM) Universitas Sebelas Maret (UNS) untuk mengadakan acara mimbar bebas Munir dan Penegakan Hukum HAM di Indonesia.
“Jelas kita perlu memperingatui hal seperti ini karena kita merawat ingatan
dan menolak lupa mengenai permasalahakan HAM dan penegakan hukum di Indonesia” ujar
Muhammad Rizki Almalik selaku Menteri Pengetahuan dan Siasat Gerak BEM UNS
2019.
Selanjutnya, ia menyebutkan bahwa sebenarnya permasalah tersebut tidak
sebatas kasus Munir, masih ada kasus Semanggi II, kasus G30S dan lain
sebaganya. Ia mengungkapkan kekhawatiran bahwa dengan adanya kasus tersebut
beserta ketidakjelasannya, bisa jadi penyuara pendapat yang lain akan bernasib
sama seperti Munir.
Ia mengungkapkan bahwa pemerintah sebenarnya dahulu pernah membuat tim
khusus untuk menyeldiki kasus munir, namun hingga kini belum diketahui
kejelasan mengenai dalang pembunuhannya.
“Maka hari ini saya bisa menyimpulkan bahwa pemerintah masih gagal dalam
menangani HAM masa lalu” imbuhnya.
Beberapa mahasiswa turut meramaikan Mimbar Bebas Munir yang diselenggarakan BEM UNS |
Munir sendiri bernama lengkap Munir Said Thalib merupakan aktivis HAM yang
diketahui dibunuh dengan racun pada saat perjalanannya ke Amsterdam. Pada saat
dibunuh ia bahkan belum menyentuh usia 40 tahun.
Seperti yang dikutip pada e-book Menulis
Munir dan Merawat Ingatan yang disunting oleh Amalia Puri Handayani bahwa
semasa hidupnya ia banyak membela kepentingan petani, buruh dan mahasiwa. Ia
banyak membantu terutama di bidang hukum, hal ini terkait dengan disiplin
keilmuan yang ia pelajari semasa kuliah yakni Ilmu Hukum di Universitas
Brawijaya.
Dituliskan dari sumber yang sama, untuk memahami penderitaan para buruh ia
hidup dan bergaul juga bersama para buruh. Hal ini menjadikannya sebagai
pemebelajar yang tidak hanya mengandalkan buku-buku akademis tentang hak-hak
asasi manusia. Ia banyak membela kaum buruh terutama yang ada di Jawa Timur dan
Jawa Tengah, salah satunya adalah pembelaannya terhadap Marsinah pada tahun
1993.
Akan tetapi dapat disayangkan bahwa mimbar terbuka yang dilaksanakan
terlihat tidak bisa menarik atensi besar mahasiswa. Hal inipun diamini oleh
Muhammad “Sebenanya hal-hal seperti ini yang mulai luntur di mahasiswa”
ungkapnya kepada VISI.
“Oke akademis itu ngga salah. Cuma kita perlu melakukan hal-hal seperti ini
karena siapa lagi yang bisa mengontrol
pemerintah kalo bukan mahasiswa? Memang ada DPR tapi bisa dilihat DPR aja
seperti itu” ungkapnya.
Pendapat ini juga disepakati oleh Ahmad mahasiswa Fakultas Pertanian (FP)
2018 yang turut mengikuti acara mimbar terbuka tersebut.
“Kalo menurutku antusiasmenya masih kurang ya, bisa dilihat semakin sore
lingkarannya semakin menyusut dan semakin menyusut” ungkapnya.
Sedangkan untuk Ahmad sendiri menyatakan alasannya mengikuti mimbar terbuka
tersebut karena kekagumannya kepada munir semasa hidupnya. Ia juga menyayangkan
bahwa kematiannya merupakan kematian yang penuh dengan kejanggalan
“Kita tidak tahu apa yang terjadi sebenarnya namun kematian itu penuh
pertanyaan yang penuh kejanggalan dan tidak terjawab hingga saat ini” ujarnya.
Akan tetapi bukan semua kesalahan mahasiswa ketika mimbar terbuka ini
serasa kurang peminat. Muhammad turut mengakui bahwa sedikitnya peserta yang
datang bisa jadi sejalan dengan publikasi acara tersebut yang hanya dilakukan
dengan waktu singkat. Publikasi dimulai dari Jumat melalui publikasi tidak
resminya, sedangkan untuk publikasi resmi baru diunggah di instagram sehari sebelum acara resmi yang dilaksanakan pada Selasa (10/09/2019).
0 Comments: