oleh: Rachma Dania
(dok. internet/ harnas.co) |
Sepeninggalnya Presiden B J Habibie pada
Rabu (11/09/2019) seakan memberikan pernyataan patah hati yang sesungguhnya
bagi bangsa Indonesia. Seakan belum kering, luka tersebut ditambah dengan
siraman air garam atas direstuinya revisi Undang- Undang (UU) KPK lewat Surat
Presiden (Supres) oleh Presiden kita saat ini Joko Widodo kepada DPR RI.
Sebagaimana
dikutip pada laman resmi Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) yakni www.kpk.go.id tertulis 10 persoalan di
Draft RUU KPK yang dianggap bisa melemahkan dan juga mengganggu fungsi dari KPK
itu sendiri. Berikut ringkasan dari poin-poin penting persoalan di Draft RUU
KPK:
Independensi KPK
Terancam
Dituliskan
bahwa KPK tidak disebut lagi sebagai lembaga independen yang bebas dari
pengaruh kekuasaan manapun. Selain itu hal ini diperkuat dengan dijadikannya
posisi KPK sebagai lembaga Pemerintah Pusat.
Selanjutnya pegawainya berstatus ASN/PNS
Penyadapan
dipersulit dan dibatasi. Penyadapan hanya dapat dilakukan setelah ada izin dari
Dewan Pengawas. Sementara itu, Dewan Pengawas dipilih oleh DPR dan menyampaikan
laporannya pada DPR setiap tahunnya; Penyadapan diberikan batas waktu 3 bulan.
Pembentukan Dewan
Pengawas yang dipilih oleh DPR. DPR memperbesar kekuasaannya yang tidak
hanya memilih Pimpinan KPK tetapi juga memilih Dewan Pengawas. Dewan Pengawas
ini akan bertanggung jawab kepada DPR atas tanggung jawabnya mengawasi KPK
Sumber penyelidik
dan penyidik dibatasi. Penyelidik KPK cuma berasal dari Polri. Adapun penyidik
KPK berasal dari Polri dan PPNS (tak ada lagi penyidik dan penyelidik
independen.
Penuntutan perkara
korupsi harus koordinasi dengan Kejaksaan Agung
Perkara yang
mendapat perhatian masyarakat tidak lagi menjadi kriteria
Kewenangan
pengambilalihan perkara di penuntutan dipangkas. KPK tidak lagi bisa
mengambil alih Penuntutan sebagaimana sekarang diatur di Pasal 9 UU KPK
Kewenangan strategis
pada proses penuntutan dihilangkan. KPK tidak berwenang
lagi melakukan pelarangan bepergian ke luar negeri, menghentikan transaksi
keuangan terkait korupsi, meminta keterangan perbankan, serta meminta bantuan
Polri dan Interpol.
KPK bisa
menghentikan penyidikan dan penuntutan
Wewenang KPK
mengelola pelaporan dan pemeriksaan LHKPN dipangkas. Lembaga ini hanya
bisa melakukan koordinasi dan supervisi terkait LHKPN.
10 poin
tersebut merupakan poin-poin yang nantinya bisa saja tewujud. Poin-poin
tersebut seakan merubah dari dasar pembentukan KPK itu sendiri yakni pada
Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2002.
UU tersebut
menyebutkan bahwa Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi, Komisi
Pemberantasan Korupsi (KPK) diberi amanat melakukan pemberantasan korupsi
secara profesional, intensif, dan berkesinambungan. KPK merupakan lembaga negara
yang bersifat independen, yang dalam melaksanakan tugas dan wewenangnya bebas
dari kekuasaan manapun.
Pelemahan
terhadap KPK seakan bukan ungkapan yang berelebihan hal inipun juga diamini
oleh lembaga Ombudsman yang menyebutkan ada beberapa keganjilan sebagaimana
dilansir dari laman resmi tirto.id
Dituliskan
bahwa RI Ninik Rahayu selaku Komisioner Ombudsman menyatakan keganjilan pada
RUU ini karena tidak memasukan KPK sebagai institusi yang berkenaan langsung
dengan pembahasan RUU KPK. Kejadian ini berbanding terbalik dengan
RUU Penghapusan Kekerasan Seksual yang dalam pembahasannya melibatkan
Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Anak atau surpres revisi UU Kesehatan
yang melibatkan Kementerian Kesehatan.
Melihat dari
poin perubahan diatas KPK akan ada di bawah pemerintahan DPR lewat Dewan
Pengawas, lalu dimana independensinya? Korupsi bisa berasal dari mana saja
bahkan tak menutup kemungkinan dari pihak elit pemerintahan sendiri yang
melakukannya.
Apablia RUU
KPK benar disahkan fungsi lembaga KPK kelihatannya akan kembali kepada
lembaga-lembaga pemberantasan korupsi terdahulu yang lebih terkenal akan
kegagalannya dalam memberantas Korupsi. Sebut saja Bapekan, Paran, Operasi
Budhi, dan Kotrar karya presiden Soekarno.
Atau bahkan
KPK kini seolah sedang dikembalikan menjadi lembaga setengah hati dalam
memberantas korupsi, seperti pada pada masa Orde Baru yakni Tim Pemberantas
Korupsi (TPK). Pada akhirnya lembaga ini tidak memiliki taring yang cukup tajam
untuk menguak kasus korupsi yang pernah terjadi di Indonesia pada masa Orde
Baru.
Kejadian ini
mengingatkan penulis terhadap salah satu karya puisi milik Widji Thukul, yang
dikenal sebagai sastrawan dan juga aktivis HAM yang hilang dan tidak ditemukan
hingga sekarang. Berikut puisinya:
PERINGATAN
Jika rakyat
pergi
Ketika
penguasa pidato
Kita harus
hati-hati
Barangkali
mereka putus asa
Kalau rakyat
bersembunyi
Dan
berbisik-bisik
Ketika
membicarakan masalahnya sendiri
Penguasa
harus waspada dan belajar mendengar
Bila rakyat
berani mengeluh
Itu artinya
sudah gawat
Dan bila
omongan penguasa
Tidak boleh
dibantah Kebenaran pasti terancam
Apabila usul
ditolak tanpa ditimbang
Suara
dibungkam kritik dilarang tanpa alasan
Dituduh
subversif dan mengganggu keamanan
Maka hanya
ada satu kata: lawan!.
(Wiji
Thukul, 1986)
0 Comments: