Judul: Raden Mandasia Si Pencuri Daging Sapi | Penulis: Yusi Avianto Pareanom | Penerbit: Banana Publishing | Cetakan: Pertama, Maret 2016 | Halaman: 468 halaman | ISBN : 9789791079525 (Dok. Internet) |
oleh: Rachma Dania
"Aku memang belum
pernah mendengar atau membaca syair tentang Watugunung, tapi aku yakin isinya
pasti pujian murahan. Pada saat yang bersamaan, aku harus mengakui bahwa
Gilingwesi memang makmur. Orang melamun saja dibayar mahal. Anjing
betul."--- Sungu Lembu takjub juga sekaligus mengumpat.
Buku yang berlatar belakang zaman lampau atau yang kental dengan nuansa
kolosal ini menceritakan tentang Sungu Lembu yang membawa misi pembalasan
dendam atas masa lalunya. Dalam misinya tersebut ia merantau menuju kerajaan
yang telah menjajah negeri kecilnya, yakni Gilingwesi.
Sekilas pandang memang plot terlihat sederhana, akan tetapi kompleksitas
yang terkandung di dalamnya bisa jadi lebih dari yang dibayangkan. Dalam
perjalanannya menuju Gilingwesi, Sungu lembu melewati berbagai peristiwa dan
pelaku di dalamnya. Salah satu pertemuan yang cukup penting yakni pertemuannya
dengan Nyai Manggis, perempuan pemiliki rumah judi yang ternyata sekampung
halaman dengannya. Tanpa diduga ternyata Nyai Manggis juga memiliki sekelompok
pemberontak dari Banjaran Waru yang juga ingin melawan Gilingwesi.
Melalui pertemuan tersebut, tanpa sengaja Sungu bertemu dengan Raden
Mandasia, yakni anak kembar ke 7 dari 13 pasang anak kembar Watugunung,
penguasa Gilingwesi. Melalui pertemuan inilah akhirnya Sungu mulai menjalankan
misi dengan ditemani dengan Raden Mandasia yang memiliki kebiasaan aneh mencuri
daging sapi, menyembekih dan meracik sediri bagian yang ia sukai. Kebiasaan ini
juga yang kadang membawa mereka ke dalam peristiwa mara bahaya.
Mereka berdua melakukan perjalanan hebat, petualangan yang tak
tanggung-tanggung membuat pembaca terkesima. Jika Sungu Lembu membawa dendam
kepada ayah Mandasia selama perjalanannya, Mandasia justru membawa keinginan
untuk menghentikan perang yang akan dilakukan Gilingwesi ke Kerajaan Gerbang
Agung.
Berbicara mengenai kompleksitas di bahas di atas, maka kompleksitas dan
kebergaman cerita itu sendiri muncul saat petualangan dimulai. Bukan hanya
perkara balas dendam namun juga diselipkan keseruan, komedi, dan tak jarang
juga terdapat alur membawa pesan yang membuat hati tersentuh.
“Menulislah, agar hidupmu
tak seperti hewan ternak, sekadar makan dan minum sebelum disembelih,"-
Loki Tua
"Aku tak paham
pikirannya. Aku tak akan pernah paham pemikiran perempuan. Kalau aku bisa
membaca hati perempuan, barangkali aku bisa jadi penguasa dunia." -- Sungu
Lembu.
Tak jarang juga kita bisa menemukan banyaknya cerita yang nampaknya serupa
dengan cerita dongen zaman dahulu sebut saja kisah bapak tua yang mirip
Gepetto, kisah Sangkuriang, kisah Nabi Yunus, dan lain sebagainya.
Yusi menyajikan kompleksitas cerita dengan bahasa yang seolah menawan para
pembacanya, tak hanya itu penulis juga turut menampilkan cerita dengan latar
belakang yang terperinci dan jelas sehingga bisa membantu pembaca untuk
memvisualisasikan peristiwa yang sedang dialami oleh tokoh. Detail cerita ini nampaknya
baik untuk dinikmati secara cermat tak heran ketika pembaca perlu memberikan
sedikit waktu lebih banyak untuk memahami dan menikmak alur yang disajikan oleh
penulis ini.
Buku ini memiliki label dewasa dan nampaknya pembaca memang harus bijaksana
akan hal tersebut. Petualangan dari dua
bujangan ini memang banyak menggunakan bahasa-bahasa umpatan untuk
mengekpresikan perasaan yang mereka rasakan. Adegan intim yang sarat akan
hubungan seksual juga turut disertakan dalam buku ini.
Secara keseluruhan buku ini memang layak dan patut untuk dibaca, buku ini
bisa menambah wawasan dan kekritisan pikiran bagi orang yang membacanya. Tak
mengherankan apabila buku ini berhasil memenangkan penghargaan Kusala Sastra
Khatulistiwa tahun 2016 untuk kategori Prosa.
0 Comments: