Dok.Internet/Wendy Keningsberg |
Oleh: Stella Maris M.R
Istilah "Mahasiswa
sebagai Penyambung Lidah Rakyat", nampaknya tepat digunakan untuk mewakili
keterlibatan mahasiswa sebagai penyalur aspirasi
rakyat. Mengapa demikian? Mahasiswa bisa dikatakan sebagai garda terdepan dari
“masyarakat” itu sendiri. Contoh sederhananya semisal bila terjadi
ketidakselarasan kebijakan atau aturan dari pemerintah kepada masyarakat,
biasanya pihak yang maju terlebih dahulu untuk mengkritik bahkan menentang
adalah mahasiswa. Mulai dari mengadakan mimbar diskusi terbuka hingga
menggerakan massa untuk berdemo. Semua itu dilakukan untuk mencapai puncak
keadilan baik untuk masyarakat maupun pihak pemerintah
Namun belakangan ini,
acara dialog atau diskusi seakan menjadi mimpi buruk bagi mahasiswa. Hal ini
dikarenakan adanya intimidasi dari pihak yang tidak bertanggung jawab. Kasus
yang terkait dengan hal tersebut adalah aksi teror terhadap "Diskusi
Fakultas Hukum UGM” pada 29 Mei 2020. Diskusi tersebut dinilai memiliki judul
yang mengandung unsur makar. Pihak panitia diskusi yaitu mahasiswa Constitutional Law Society (CLS)
mengalami intimidasi melalui pesan yang berisi ancaman pemanggilan polisi
hingga ancaman pembunuhan dari pihak yang tidak bertanggung jawab.
Hal ini kemudian menjadi
viral di masyarakat dikarenakan judul acara diskusi yang dinilai “terlalu
berani”. Selain itu, tertulis juga bahwa instansi perguruan tinggi negeri,
Universitas Gadjah Mada (UGM), turut berpartisipasi dalam kegiatan ini. Tak
hanya itu saja, panitia hingga pembicara pun tak luput dari terror ancaman
melalui pesan singkat. Kasus ini kemudian memancing sekelompok orang untuk
turut berkomentar di kanal media sosial mereka. Sudah bukan barang baru jika
muncul pro dan kontra terhadap suatu kasus, tak terkecuali dengan masalah ini.
Berada di pihak pro maupun kontra tentu sah-sah saja. Turut berkomentar atas
masalah ini pun juga tidak menjadi masalah asalkan kita dapat
mempertanggungjawabkan pernyataan kita.
Kebebasan berpendapat,
berdiskusi, ataupun berdialog, khususnya yang dilakukan oleh para mahasiswa
seharusnya tidak menjadi masalah. Kegiatan tersebut seharusnya bisa berjalan
dengan lancar. Hal ini dikarenakan semua elemen bebas berekspresi, bebas menyalurkan
aspirasinya. Namun perlu diingat bahwa apa yang kita lakukan harus tetap berada
di jalur yang tepat. Jangan sampai tindakan kita menjadi celah bagi oknum tak
bertanggung jawab. Selain itu, bagi pihak yang menjadi topik utama dalam
diskusi, alangkah lebih bijak jika menyikapinya dengan arif. Sebab segala
sesuatu bisa mencapai mufakat bila semua pihak dapat menurunkan ego
masing-masing. Selain itu, diharapkan agar kasus ancaman tersebut dapat diusut
tuntas oleh pihak kepolisian agar tidak menjadi celah konfrontasi ataupun
menimbulkan trauma ketakutan berdialog di masa mendatang.
Terlepas dari masalah
“Kasus Diskusi Fakultas Hukum UGM”, saat ini Indonesia tengah berjuang melawan
pandemi virus corona atau COVID-19. Akibat pandemi ini, semua elemen dan sektor
kehidupan terkena imbasnya. Salah satu sektor yang terkena imbasnya yakni
sektor pendidikan. Pandemi telah membuat pelajar hingga tenaga pendidik
“dirumahkan” yang kemudian sistem pembelajaran diubah menjadi sistem daring.
Banyak kegiatan pendidikan yang diganti menjadi daring. Banyak kegiatan
mahasiswa yang terganggu seperti perkuliahan, penelitian, Kuliah Kerja Nyata
(KKN), magang, konsultasi skripsi, bahkan wisuda menjadi terhambat.
Sejak awal pandemi
hingga saat ini, kebijakan perubahan sistem pendidikan menjadi sistem daring
telah banyak menuai pro kontra di kalangan pelajar khususnya mahasiswa. Bagi
pendukung sistem ini, mereka menilai bahwa sistem ini sebagai salah satu cara
untuk meminimalisir penyebaran virus corona. Mereka beralasan bahwa cara ini
dianggap dapat mengurangi kemungkinan orang untuk berkumpul di satu wilayah
dalam jumlah banyak. Bagi mereka yang kontra, mereka beralasan bahwa mahasiswa
mengalami banyak kerugian. Beberapa contoh kerugian tersebut adalah tagihan
paket kuota internet yang membengkak, jangkauan sinyal internet yang kurang
merata, beban tugas mata kuliah yang semakin menumpuk, janji subsidi pihak
kampus kepada mahasiswa yang tidak terpenuhi seluruhnya, tuntutan bebas UKT
(Uang Kuliah Tunggal) untuk semester berikutnya, hingga bantuan logistik bagi
mahasiswa yang tidak dapat pulang ke kampung halaman.
Tuntutan yang digaungkan
mahasiswa bukan tanpa alasan. Faktor ekonomi akibat pandemi dinilai sebagai
latar belakang merebaknya aksi tuntutan mahasiswa kepada pihak rektorat.
Beberapa kendala umum yang dialami mahasiswa adalah tagihan internet yang
membengkak, koneksi jaringan internet yang tidak merata hingga ke pelosok, dan
lain sebagainya. Tuntutan mahasiswa tentunya tdak lepas dari masalah UKT. Mulai
dari tuntutan keringanan hingga pengembalian atau pembebasan UKT, pemberian
pulsa atau kuota, hingga bantuan sembako bagi mahasiswa yang tidak dapat pulang
ke kampung halamannya. Semua pemohonan tersebut tentu harus dikaji secara lebih
mendalam agar tidak ada pihak yang dirugikan. Untungnya, masih banyak kampus
yang memberikan berbagai bantuan dan kebijakan yang cukup meringankan beban
mahasiswa, walaupun hal tersebut tidak dapat menutup segala kendala dan
kerugian yang dihadapi mahasiswa itu sendiri.
0 Comments: