Munir Said Thalib. Dok.Internet |
Lpmvisi.com, Solo - Tepat hari
ini 16 tahun lalu, menjadi hari yang kelam bagi Indonesia. Munir Said Thalib,
seorang aktivis yang membela kasus HAM berat, meninggal dunia dalam penerbangan
GA 974 menuju Amsterdam, 7 September 2004.
Munir
dikenal karena kegiatannya sebagai aktivis yang kerap kali mengadvokasi
kasus-kasus besar seperti kasus Marsinah 1993 hingga penculikan aktivis
1997-1998. Ia lahir di Malang pada 8
Desember 1965. Putra Said Thalib dan Jamilah ini merupakan lulusan dari
Fakultas Hukum Universitas Brawijaya (UB), Malang. Semasa kuliah, Munir juga
aktif di beberapa organisasi seperti menjadi Ketua Senat Mahasiswa UB, Sekretaris
Al Irsyad Kabupaten Malang pada tahun 1988, hingga menjadi Koordinator Wilayah
IV Asosiasi Mahasiswa Hukum Indonesia pada tahun 1989.
Setelah
meraih gelar sarjana hukum, Munir melanjutkan kariernya di Koordinator Badan
Pekerja, Komisi untuk Orang Hilang dan Korban Tindak Kekerasan (KontraS) pada
1998-2001. Ia juga menjadi bergabung dalam Yayasan Lembaga Bantuan Hukum
Indonesia (YLBHI) sebagai sekretaris bidang operasional pada 1996, wakil ketua
bidang operasional pada 1997, dan wakil ketua dewan pengurus pada 1998. Munir
juga aktif sebagai koordinator divisi perburuhan dan divisi hak sipil politik Lembaga
Bantuan Hukum (LBH) Surabaya; selain itu, Munir juga bergabung dalam Lembaga
Pemantau HAM Indonesia Imparsial sebagai direktur eksekutif.
Munir
juga dikenal karena aktif sebagai penasihat hukum kasus-kasus besar di Indonesia.
Beberapa kasus besar yang melibatkan peran serta Munir antara lain kasus
pembunuhan Marsinah pada tahun 1993, kasus Jose Antonio De Jesus Das Neves
(Samalarua) di Malang dengan tuduhan melawan pemerintah untuk memisahkan Timor
Timur dari Indonesia pada tahun 1994, kasus Muchtar Pakpahan (Ketua Umum Serikat
Buruh Sejahtera Indonesia) dalam kasus subversi pada tahun 1997, kasus
hilangnya 24 aktivis dan mahasiswa di Jakarta 1997-1998, hingga kasus penembakan
mahasiswa di Semanggi pada tahun 1998-1999. Tak hanya itu, Munir juga aktif
sebagai anggota Komisi Penyelidikan Pelanggaran HAM di Timor Timur pada tahun
1999.
Atas
kiprahnya membela kasus-kasus HAM, Munir menerima banyak penghargaan. Beberapa
penghargaan tersebut antara lain Right Livelihood Award 2000, Penghargaan
pengabdian bidang kemajuan HAM dan kontrol sipil terhadap militer, Swedia; Mandanjeet
Singh Prize, UNESCO, untuk kiprahnya mempromosikan Toleransi dan Anti-Kekerasan
pada tahun 2000; Salah satu Pemimpin Politik Muda Asia pada Milenium Baru dari Majalah
Asiaweek, pada tahun 1999; Yap Thiam Hien Award pada tahun 1998; hingga Satu
dari seratus tokoh Indonesia abad XX, majalah Forum Keadilan.
Munir
Berpulang
Jelang
akhir hayatnya, Munir menerima beasiswa untuk melanjutkan studi S-2nya di
Belanda dengan mengambil jurusan International
Protection on Human Rights. Dengan menaiki pesawat Garuda Indonesia GA 974
tujuan Amsterdam, Munir berangkat meninggalkan Jakarta pada 6 September 2004.
Pada tanggal 7 September dini hari, selepas transit di Singapura, Munir
dilaporkan mengalami kondisi yang kurang baik. Menurut kesaksian persidangan di
Jakarta, Munir diduga mengalami muntaber. Kondisi Munir saat itu terlihat pucat
dan lemas.
Tarmizi
Hakim, seorang penumpang sekaligus dokter ahli jantung, dibangunkan untuk
membantu menangani Munir. Dalam laporan Matranews, Hakim menyatakan
bahwa Munir telah bolak-balik ke kamar mandi sebanyak enam kali dalam jeda
waktu setiap setengah jam. Munir akhirnya diberi beberapa obat yang setidaknya
mengurangi rasa sakit yang dideritanya. Munir juga sempat meminta untuk
dipindahkan ke tempat duduk yang dekat dengan kamar mandi. Berselang lima jam,
tubuh Munir terbujur kaku, dingin, dan tidak sadarkan diri. Munir dinyatakan
meninggal di langit Belanda sebelum mendarat di Amsterdam, 7 September 2004.
Dalam
beberapa jam, meledaklah kabar kematian Munir di Indonesia. Dalam laporan yang
dikeluarkan di awal kematian, Munir dinyatakan meninggal akibat penyakit yang
dideritanya. Akan tetapi, rilis awal tersebut tidak digunakan lagi setelah dua
minggu berselang. Dalam waktu dua minggu itu, Badan Forensik di Belanda
mengungkapkan ada racun arsenik dalam jumlah yang melebihi ambang batas wajar
dalam tubuh Munir. Hal ini memunculkan dugaan bahwa Munir diracun.
Penyelidikan
menyatakan bahwa racun arsenik tersebut ditaruh ke dalam jus jeruk yang
diberikan kepada Munir oleh pramugari. Penyelidikan yang dilakukan pemerintah
juga hanya berhasil mengungkap Pollycarpus, mantan pilot Garuda, sebagai pelaku
yang menaruh racun dalam minuman tersebut. Pemerintah tidak mampu mengungkap
siapa otak dibalik kasus ini. 16 tahun pun berlalu, hingga kini kasus tersebut
seolah sengaja dilupakan. Tidak ada pengusutan lebih mendalam mengenai siapa
dalang di balik kasus ini. Slogan “menolak lupa” terus digaungkan agar
masyarakat tetap ingat bagaimana kesewenang-wenangan mengalahkan hati nurani.
Bagaimana hak asasi kita hampir tak terjamin lagi.
Berpulangnya
Munir menjadi duka cita mendalam bagi pejuang keadilan HAM di Indonesia dan bagi kita semua.
16 tahun bukanlah waktu yang singkat. Selama itu pula, dalang dari kejadian ini masih tertawa bebas tanpa mendapat pengusutan yang jelas. Mungkin benar apa yang dikatakan oleh
Fajar Merah, “aku akan tetap ada dan berlipat ganda”. Nyatanya, harapan untuk terwujudnya keadilan HAM di Indonesia terus menerus ada hingga saat ini. Api semangat itu tidak pernah padam meski ribuan kali diintervensi oleh berbagai pembungkaman. Engkau pergi meninggalkan kami, Munir, Namamu abadi. (Gede)
0 Comments: