Ilustrasi (Dok. VISI/ Redaksi) |
Masa pandemi dimanfaatkan sebagian besar orang untuk menghabiskan waktu bersama sanak keluarga di rumah, tertawa bersama di ruang keluarga sembari menikmati makanan enak dan ditemani sejuknya AC rumah mereka. Dan disini lah kami, sebagian kecil lainnya yang harus rela menahan lapar dan lelah demi bisa menyambung hidup.
“Ibu,
perutku berbunyi, lapar” Ujarku pada ibu yang tengah melamun, entah memikirkan
kapan ada orang yang akan membeli dagangan kamu atau berpikir bagaimana kami
akan makan nanti. Bunyi perut sudah tak daapat dihitung lagi, sedaari kemarin
ia terus berbunyi minta diisi sehingga kami tak kuasa menghitungnya lagi.
Ibu
menoleh untuk menatapku dan berujar, “Sebentar lagi nduk, sebentar lagi pasti
ada orang yang dating membeli.” Ibu tersenyum, sedetik kemudian ia menatap
dagangan kami, sayur-sayur lusuh dan keriput. Aku sudah hafal di luar kepala,
ibu akan mengatakan hal semacam itu, dan entah kapan orang itu akan datang tuk
membeli.
“Huh, PPKM itu diperpanjang lagi.” Ah, ayahku rupanya yang berujar seperti itu,
baru saja kembali dari mengantar penumpang. Bukan, ayahku bukan tukang ojek,
tetapi becak, tukang becak. “Ini, minum dan duduklah dulu.” Ibu memberikan
sebotol air putih yang airnya pun tak bisa dibilang putih dan jernih, lewat
warna air yang kami minum pun sudah jelas terlihat kondisi ekonomi kami seperti
apa.
Ayah
meneguk air itu, menyekanya saat selesai dan menatap kami berdua, “Mau pulang
saja? Di sini tidak akan ada orang datang tuk membeli sayur- sayur ini, PPKM.”
Ujarnya kemudian. Kami berdua terdiam, benar kata ayah, tidak akan ada yang
datang karena PPKM.
“Ayah,
kita akan makan kan sepulang dari sini?” Tanyaku, ia mengangguk seraya
tersenyum. Aku memekik girang, melompat-lompat dan berakhir memeluk ibuku yang
sedang menatapku tersenyum.
“Ibu,
kita akan makan! Aku senang sekali.” Ujarku kepada ibu, ia mengangguk
menanggapi perkataanku. “Iya, kita akan makan, senangnya. Syukurlah ayah
membawa uang ya, nduk.” Ucap ibu sembari bergegang merapikan dagangan kami, ia
membereskan sayur-sayur . Wortel, bayam, kangkung, dan banyak lagi sayuran
hijau yang sebenarnya sudah tak hijau lagi itu ia masukkan dengan semangat ke
dalam keranjang tempat kami biasa menyimpan sayuran.
Ayah
menatap kami dengan senyum simpul di bibirnya, tangannya meremat lembaran uang
lusuh bernilaikan dua ribu rupiah dan lima ribu rupiah, total lembaran itu ada
tiga lembar. Aku bertanya padanya, “Ayah punya tiga lembar uang, banyak sekali,
itu berapa ribu, yah?” Ayah menatapku lalu berujar, “Dua belas ribu, nduk,
cukup untuk beli dua porsi nasi putih dan gorengan.”
Ah,
senang mendengarnya, nasi putih dengan lauk gorengan. Itu sudah cukup untuk
kami memuaskan rasa lapar, akhirnya perutku bisa segera berhenti berbunyi
setelah berbunyi puluhan kali sedari kemarin.
Beberapa
saat kemudian ibu menghampiri kami berdua, menenteng keranjang sayuran kami
dengan senyuman. Aku menjulurkan tanganku, minta ibuku tuk menggandengnya. Ayah
pun menyiapkan kendaraan kami pulang, iya kami pulang dengan becak milik ayah.
Ibu
menaruh keranjang sayuran terlebih dahulu, mendudukan aku di jok becak kemudian
menyusul tuk menempatkan diri. Ayah sudah siap untuk mengayuh pedal di
belakang, rantai, ban, dan kaki ayah pun bekerjasama tuk membuat kami melaju
sampai ke rumah.
0 Comments: