Oleh: Zahra Nabila
Tania
termangu di depan jendela sambil memejamkan mata, merasakan hembusan angin yang
menyelinap di sela-sela rambut panjangnya. Wajahnya masih pucat, bibirnya pun
kerontang. Perlahan, ia meneguk setengah gelas air putih diatas meja. Kemudian
kembali termangu. Tak berselang lama, suara ketukan terdengar lirih di
telinganya.
“Siapa
disana?”
Hening.
Tidak ada jawaban.
“Tolong
jangan buat aku marah. Katakan siapa disana?” teriak Tania dengan suara parau.
Pelahan,
pintu terbuka. Tampak sosok jangkung dengan ragu melangkah masuk. Ia
melayangkan senyum tipis, sembari melambaikan tangan
“Hai,
Ta. Sudah lama, ya?”
Tania
mematung. Tak berani menatap lama-lama sosok yang sekarang sudah berdiri tepat
di depannya. Ia kemudian membuang muka, berusaha mengalihkan pandangan.
“Ta”
Suara
lembut ini. Suara sosok yang selalu Tania tunggu kehadirannya, yang selalu
Tania tangisi karena terlalu merindukannya, yang selalu Tania tunggu pesannya
sampai tak sadar ketika terlelap, yang selalu Tania bayangkan bagaimana jika
hidup bersamanya kelak, yang selalu Tania doakan di setiap detiknya, yang
paling Tania anggap berharga daripada hal lainnya.
“Aku
disini, Ta. Maafin aku ya udah bikin kamu kayak gini. Maaf udah nyia-nyiain
keberadaanmu. Aku janji bakal nebus kesalahan aku. Aku mau bahagiain kamu,
gabakal ninggalin kamu. Aku mau nemenin kamu pas lagi seneng maupun sedih.
Inget kan Ta dulu kita pernah bikin planning buat jalan-jalan berdua di kota
lama, ke pantai bareng, beli ikan hias yang warnanya identik biar kita selalu
inget satu sama lain. Makan seafood malem-malem
di daerah yang banyak bintangnya. Aku pengen dan mau ngewujudin itu semua sama
kamu, Ta. Jadi maafin aku, ya?”
Tania
tak membalas perkataan itu. Ia membekap mulutnya, sekuat tenaga menahan agar
air matanya tak terjatuh. Namun sia-sia. Isakannya semakin keras, menyayat.
Langit yang tadinya cerah bahkan turut menjadi kelabu, seolah merasakan sakit
yang membekas di hati Tania.
“Ta,
jangan pergi dari aku, please”
Tania
masih tenggelam dalam tangisannya. Beberapa detik kemudian, bunda datang dan
memberikan pelukan hangat yang dapat mententramkan hatinya. Bunda mengusap
rambut Tania pelan, lalu menggenggam tangannya dengan erat.
“Tama
disini bunda. Dia bilang dia gabakal ninggalin aku. Dia mau sama aku terus. Dia
mau bahagiain aku. Bunda, aku mau bahagia sama Tama. Aku mau sama Tama terus. Bolehkan?”
Bunda
yang melihat anaknya terisak seperti itu hanya mengangguk. Mata Tania terlihat
sayu. Tubuhnya kurus, tak berisi seperti dulu. Setiap hari, ia hanya mengurung
dirinya di kamar. Bunda sudah mengupayakan segala cara. Namun hingga detik ini,
ternyata masih belum membuahkan hasil.
“Tania
minum obat dulu, yuk. Biar cepet sembuh dan bisa jalan-jalan sama Tama”
Tania
menghentikan tangisnya, kemudian mengangguk pelan. Setelah menelan obat yang
diberikan oleh bunda, Tania terlihat lebih tenang, lalu tertidur. Bunda
mengecup kening Tania, kemudian memandangnya iba.
“Bunda
pengen kamu bahagia, Ta. Kalo kamu bahagia, pasti Tama juga bahagia. Jangan
nyusul Tama dulu ya, nak. Bunda masih butuh kamu”
Dengan
suara yang getir, bunda menyelimuti tubuh mungil Tania yang masih
terbayang-bayang oleh sosok Tama.
Ya,
semua yang dilihat Tania tadi hanya ilusi yang diciptakan olehnya sendiri.
Tama
sejatinya sudah tiada dari dunia ini. Selama-lamanya.
0 Comments: