Bagi sebagian besar orang, fashion atau mode mungkin menjadi bagian dari gaya hidup. Banyaknya variasi pilihan membuat orang bebas mengekspresikan diri melalui pakaian. Tak hanya kalangan tertentu, kini fashion bisa diakses oleh semua kalangan. Hal ini karena menjamurnya industri fashion murah dengan model yang beragam. Industri ini belakangan sering disebut dengan industri fast fashion. Namun, dibalik keterjangkauannya yang luas industri fast fashion memberi dampak negatif bagi lingkungan.
Fast Fashion dan Dampak yang Ditimbulkan
Dengan julukan fast fashion, sudah dapat ditebak bahwa industri ini memproduksi barang dengan cepat dan dalam jumlah yang banyak. Jika melihat produk seperti H&M, 3Second, Nevada, dst cenderung mengeluarkan koleksi sesuai musim. Pada musim panas mereka akan memproduksi koleksi untuk musim panas dan dalam waktu dekat mereka akan memproduksi koleksi musim dingin ketika musim dingin datang.
Karena tingkat produksi yang tinggi, biaya yang dikeluarkan perlu ditekan. Maka industri fast fashion cenderung menggunakan bahan baku berkualitas rendah. Dampak buruknya adalah produk-produk yang dihasilkan tidak bertahan lama atau mudah rusak. Tak hanya itu, kain kain sisa potongan produksi pun berakhir di pembuangan tanpa pengolahan lebih lanjut padahal kain kain ini termasuk limbah yang sulit terurai.
Selain itu, dalam satu tahun produsen fast fashion rata rata menghasilkan 42 model fashion. Kelebihan produksi mungkin saja terjadi yang ujungnya adalah pembakaran sisa stok pakaian tidak terjual. Hal ini pernah terjadi pada tahun 2017, retailer H&M membakar sekitar 19 ton stok pakaian tidak terjual atau setara dengan 50.000 helai jeans.
Pekerja memilah limbah sisa kain di tempat pengepul limbah tekstil, Jakarta/ Dok. Muhammad Adimaja/ANTARA FOTO
Berdasarkan laporan yang ditulis oleh Global Fashion Aenda dan McKinsey and Company (cnnindonesia.com) industri fashion pada tahun 2018 telah menyumbang sebanyak 2,1 miliar metrik ton emisi gas rumah kaca atau 4% dari total emisi global. Para peneliti memperkirakan emisi gas rumah kaca dari industri fesyen akan meningkat menjadi hampir 2,7 miliar ton setiap tahun pada tahun 2030 jika tidak ada tindakan lebih lanjut.
Di dalam negeri, menurut Badan Perencanaan Pembangunan Nasional (2021) Indonesia menghasilkan 2,3 juta ton limbah tekstil atau setara dengan 12 persen dari limbah rumah tangga (menurut data dari SIPSN KLHK per tahun 2021). Dari keseluruhan limbah tekstil tersebut, hanya 0,3 juta ton limbah tekstil yang didaur ulang.
Mengenal Upcycled Fashion, Kreasi Pakaian Bekas yang Didaur Ulang
Belakangan ini, semakin banyak masyarakat yang paham dengan konsep industri fast fashion dan dampak yang ditimbulkan. Tak hanya mendaur ulang sampah rumah tangga, namun kini limbah fashion juga bisa didaur ulang. Seperti trend yang sedang populer beberapa tahun kebelakang yakni trend upcycled fashion.
Konsep upcycle berbeda dengan recycle. Jika recycle membutuhkan bahan pengurai untuk merekonstruksi limbah menjadi sesuatu yang lain, upcycle justru menggunakan kembali kain yang sama dan mengubahnya menjadi bentuk yang baru. Tak perlu bahan pengurai, upcycle pada fashion hanya memerlukan kreatifitas dan keterampilan dalam mengolah berbagai limbah kain atau pakaian yang sudah tidak terpakai.
Gerakan ramah lingkungan ini mulai populer pada tahun 2019 lalu dengan sebutan the sustainable fashion trends yang disambut baik oleh para penikmat fashion. Salah satu yang sangat populer pada saat itu adalah trend thrifting atau membeli baju bekas pakai. Nah, seiring waktu berjalan trend ini berkembang menjadi trend upcycled fashion yang menghasilkan produk unik dengan nilai jual yang bersaing.
Trend upcycling ini cukup ramai digandrungi oleh penikmat fashion. Dilihat dari banyaknya hashtag tentang trend ini di media sosial. Hashtag #upcycledclothing sudah digunakan lebih dari 700.000 unggahan di Instagram dan di TikTok hashtag #upcycledfashion sudah dilihat lebih dari 427juta pengguna.
Hashtag #upcycledclothing turut meramaikan tren upcycled fashion melalui sosial media/ Dok.Instagram
Tampaknya, tak hanya konsumen fashion yang tertarik dengan trend ini, brand-brand fashion besar seperti Coach, Levis & Ganni, dan J.W. Anderson turut menghadirkan upcycled fashion dalam koleksinya. Balenciaga pada koleksi Spring/Summer 2021 lalu juga menampilan kreasi upcycled fashion dari tali sepatu bekas yang kemudian dinamai “Shoelace Fur”.
Tampilan “Sholace Fur” dalam koleksi Spring/Summer 2021 Balenciaga/ Dok. Vogue Singapore
Menyulap Bahan Bekas Pakai menjadi Fashion yang Ciamik
Desainer dalam negeri, Diana Rikasari tidak kalah kreatif. Pemilik fashion line @iwearup dan @schmileymo ini kerap membagikan karya-karya upcycled fashionnya di instagram pribadi @dianarikasari. Berawal dari hobi menjahit, Diana berhasil menyulap bahan-bahan bekas pakai menjadi fashion dengan gaya ciamik dan tentunya bernilai jual.
Beberapa koleksinya digandeng oleh beberapa brand luar negeri. Salah satunya adalah perusahaan fashion multinasional Urban Outfitters yang berkantor pusat di Philadelphia, Pennsylvania. Kolaborasinya bersama Urban Outfitters diberi nama “Urban Renewal” yang 100% dibuat dari bahan-bahan bekas pakai.
Tampilan koleksi upcycled fashion “Urban Renewal” Diana Rikasari x Urban Outfitters/ Dok. Instagram @dianarikasari
Diana menyulap 5 box bahan bekas pakai menjadi pakaian siap pakai hanya dalam waktu satu bulan. Peluncuran koleksi “Urban Renewal” ini sekaligus memperingati hari bumi pada tanggal 22 April 2022 lalu. Bangganya lagi, koleksi-koleksi ini dipajang langsung di salah satu in-store Urban Outfitters di New York.
Selain unik dan eksklusif karena hanya bisa diproduksi 1 kali setiap modelnya, upcycled fashion juga tentunya ramah lingkungan. Dengan mengubah bahan atau pakaian bekas menjadi pakaian baru yang layak pakai, trend upcycled fashion ini dapat membantu mengurangi sampah fashion akibat stok tidak terpakai. (Saras)
0 Comments: