(Grafik perubahan suhu bumi/Dok. Center of World Reference, P2k, Utn) |
Baru-baru ini warganet dikejutkan dengan penemuan virus zombie yang telah terkubur dalam es ribuan tahun, oleh Ilmuwan Perancis. Hal ini diketahui merupakan akibat dari pemanasan global yang membuat kawasan kekal beku mencair dan membebaskan patogen (organisme) yang berbahaya.
Isu pemanasan global atau Global Warming merupakan suatu bentuk masalah alam berupa meningkatnya suhu rata-rata di bumi, tak hanya daratan tetapi juga laut dan atmosfernya. Dalam kurun waktu 100 tahun terakhir, suhu bumi meningkat 0.74 ± 0.18°C yang terjadi akibat meningkatnya emisi gas rumah kaca seperti karbon dioksida, hidrofluorokarbon, CFC, dan sulfur heksafluorida pada atmosfer bumi. Gas-gas ini berasal dari proses pembakaran bahan bakar fosil, pembakaran hutan, dan kegiatan rumah tangga seperti penggunaan AC.
Pemanasan global menyebabkan sejumlah perubahan sistem alam dan ekosistem, seperti mencairnya es di kutub sehingga air laut naik, perubahan iklim dan musim yang ekstrim, dan perubahan pola dan jumlah presipitasi sehingga memengaruhi kandungan kelembapan udara. Hal ini tentu menyebabkan sejumlah distorsi dalam ekosistem seperti menurunnya hasil pertanian, punahnya beberapa jenis hewan, dan menghilangnya gletser.
Radiasi sinar matahari yang masuk ke bumi melalui atmosfer, sebagian diserap menjadi energi panas dalam bentuk sinar infra merah lalu diserap lagi oleh udara dan permukaan bumi. Setelah itu, dipantulkan kembali ke atmosfer dan ditangkap oleh gas-gas rumah kaca yang menyebabkan suhu bumi meningkat. Suhu bumi dapat meningkat karena terperangkapnya panas matahari di dalam bumi karena efek dari rumah kaca yang terdiri atas karbon dioksida, metana dan nitrogen oksida.
Berdasarkan grafik dari Center of World Reference, pada kurun waktu 100 tahun ke depan, bumi akan semakin memanas. PBB kemudian mengamandemen Konvensi Rangka Kerja PBB tentang Perubahan Iklim (UNFCCC) menjadi Protokol Kyoto, sebuah persetujuan internasional mengenai pemanasan global. Protokol ini telah diratifikasi oleh 181 negara dan Uni Eropa berdasarkan data terbaru pada Mei 2008. Protokol ini ditandatangani pada 11 Desember 1997 dan mulai berlaku pada 16 Februari 2005. Menurut Nature, apabila protokol ini sukses dilakukan maka akan mengurangi rata-rata cuaca global antara 0.02°C-0.28°C pada 2050 mendatang.
Mengacu pada penelitian Intergovernmental Panel on Climate Change (IPCC), ada dua penyebab utama yang berdampak masif pada peningkatan suhu bumi. Efek rumah kaca menjadi sorotan pertama pada hal ini. Seperti yang diketahui, atmosfer adalah pelindung bumi dari sinar ultraviolet matahari yang berbahaya. Atmosfer berperan dalam menyaring sinar ultraviolet tersebut sehingga sinar matahari aman untuk kehidupan makhluk hidup.
Namun, apa jadinya apabila atmosfer tersebut penuh dengan gas-gas merusak fungsi atmosfer? Apabila hal itu terjadi, maka bukan hanya lapisan ozon yang rusak, tetapi juga bumi di bawahnya juga mengalami kerusakan. Atmosfer dapat mengalami plot twist yang merugikan. Atmosfer yang seharusnya menyaring dan membuang sebagian sinar matahari yang berlebihan keluar malah memantulkannya kembali kepada bumi.
Sinar matahari ini tidak bisa dibiaskan keluar karena atmosfer dipenuhi gas-gas seperti karbon dioksida, CFC yang berasal dari aktivitas manusia. Gas-gas ini berfungsi layaknya rumah kaca yang menghangatkan ruang di bawahnya. Ini berarti, bumi tetap butuh “rumah kaca” agar suhunya terjaga, tidak terlalu dingin maupun panas. Namun, apabila konsentrasi gas ini terlalu tinggi, maka bumi akan terlalu banyak menerima panas sehingga suhunya meningkat.
Penyebab yang kedua yaitu efek umpan balik. Aspek utama dari efek ini yaitu uap air, es, dan laut. Uap air adalah salah satu gas rumah kaca. Penguapan air dari permukaan bumi akan naik ke atas dan memengaruhi atmosfer menjadi gas rumah kaca. Bahkan, efek rumah kaca yang dihasilkan uap air lebih tinggi daripada karbon dioksida. Namun, uap air memiliki dampak perlahan alias tidak terlalu masif karena usianya lebih pendek dari karbon dioksida.
Umpan balik yang kedua yaitu es, yaitu hilangnya albedo dari es. Hilangnya kemampuan memantulkan cahaya dari es ini disebabkan oleh tingginya konsentrasi es yang mencair akibat peningkatan suhu global. Pencairan es akan menyebabkan daratan atau air di bawahnya terbuka. Padahal, kemampuan es dalam memantulkan cahaya matahari lebih tinggi dari daratan air sehingga ini akan menyebabkan siklus berkelanjutan dan meningkatkan suhu bumi.
Umpan balik yang ketiga yaitu lautan. Lautan ternyata memiliki kemampuan untuk menyerap karbon karena di dalamnya terdapat fitoplankton yang berperan dalam hal tersebut. Namun, kemampuan ini akan semakin berkurang atau melemah seiring menghangatnya permukaan laut. Penghangatan ini akan menghilangkan nutrien dalam zona mesopelagik sehingga membatasi pertumbuhan fitoplankton yang menyerap karbon di lautan.
Pemanasan global tentu berdampak pada kehidupan bumi. Dampak yang jelas tentu memanasnya suhu global. Namun, ternyata ada implikasi lain yang menjadi efek pemanasan global. Beberapa dari efek ini akan menimbulkan masalah lanjutan bahkan menimbulkan masalah sosial budaya. Variabel yang digunakan dalam melihat aspek ini yaitu suhu, pola presipitasi, dan sirkulasi atmosfer.
Iklim yang tidak stabil memengaruhi musim yang ada di bumi. Menurut ilmuwan, daerah bagian utara dari belahan Bumi Utara (Northern Hemisphere) akan lebih memanas dari daerah-daerah lain di Bumi. Ini menyebabkan melelehnya es dan gletser yang menyebabkan naiknya permukaan air laut dan berkurangnya daratan. Di negara subtropis, salju akan lebih cepat mencair dan suhu pada musim dingin akan meningkat. Masa tanam juga akan lebih panjang karena musim dingin bisa semakin singkat.
Peningkatan suhu akan meningkatkan intensitas penguapan air dan menyebabkan efek rumah kaca bertambah. Selain itu, ini juga akan menyebabkan daerah menjadi kering. Angin akan lebih sering bertiup dengan pola yang berbeda dan tak menutup kemungkinan akan menyebabkan badai atau topan. Topan badai atau Hurricane akan menjadi lebih besar karena memperoleh dorongan dari tingkat penguapan air yang tinggi.
Peningkatan volume air laut juga berdampak secara fisiologis muka bumi. Sebagian daratan yang rendah seperti Belanda dan Bangladesh akan tenggelam. Selain itu, abrasi pada pantai dan tebing meningkat karena air laut mudah pasang. Hal ini juga memengaruhi ekosistem seperti rawa karena akan tenggelam sehingga menghilangkan flora dan fauna yang hidup di daerah itu.
Gangguan ekologis bisa terpengaruh karena siklus kehidupan makhluk hidup bergantung pada lingkungan. Hewan akan bermigrasi karena habitatnya mungkin sudah tenggelam dengan air atau sudah terlalu panas. Tumbuhan akan mengubah arah pertumbuhannya ke daerah lain. Manusia juga akan menyesuaikan dirinya dengan lingkungannya dengan pembangunan yang cenderung menghalangi proses adaptasi hewan dan tumbuhan sehingga dapat menyebabkan kelangkaan bahkan kepunahan bagi hewan dan tumbuhan.
Kehidupan sosial dan budaya juga ikut terpengaruh. Perubahan iklim dan cuaca juga menyebabkan munculnya berbagai penyakit seperti Heat stroke (penyakit yang berhubungan dengan panas) dan kematian. Penyebaran penyakit dapat melalui air (Waterborne diseases) dan vektor (Vector-borne diseases). Seperti penyakit demam berdarah yang dalam penularannya melalui air karena ekosistemnya semakin luas. Kemudian, akan ada komplikasi pada perubahan vektor penyakit (Aedes Aygepti, virus, dll) yang menjadi resisten terhadap zat pembasminya sehingga meningkatkan penyebaran penyakit.
Bencana alam juga utamanya seperti kebakaran hutan, banjir, dan badai akan sering terjadi dan membawa dampak lanjutan. Kebakaran hutan akan mudah terjadi karena didukung suhu panas yang semakin meningkat. Banjir dan badai juga lebih mudah terjadi karena selain volume air yang naik, ada tingkat penguapan yang semakin bertambah sehingga lebih mudah terjadi hujan ditambah dengan pola angin yang selalu berbeda.
Bencana-bencana ini tentu akan membawa dampak lanjutan seperti penyebaran penyakit pada pengungsi. Para pengungsi dari bencana tersebut lebih mudah terkena dan menyebarkan penyakit seperti diare, malnutrisi, defisiensi mikronutrien, trauma psikologis, dan penyakit kulit yang akan memperparah dan membutuhkan usaha lebih untuk mengatasinya.
Melihat betapa krusialnya masalah ini, tentu diperlukan resolusi agar tidak memperparah keadaan di masa mendatang. Solusi diberikan agar generasi muda Indonesia bahkan seluruh dunia dapat berkontribusi dalam usaha pengendalian pemanasan global. Pemberian alternatif yang ramah usia diharapkan dapat meningkatkan peran serta di seluruh kalangan untuk menangani masalah global ini.
Langkah pertama yaitu melakukan konservasi terhadap hutan dan lingkungan. Penjagaan hutan seperti reboisasi, sistem tebang pilih, dan tidak menerapkan ladang berpindah menjadi langkah yang penting untuk menjaga keseimbangan karbon dioksida melalui proses fotosintesis. Pemerintah perlu mempertegas hukum mengenai konservasi alam dan mengerahkan petugas penjagaan hutan lebih maksimal. Para generasi muda bersama warga negara lain tentunya perlu meningkatkan kesadaran untuk mendukung program pemerintah ini.
Selanjutnya, langkah lanjutan untuk mengurangi karbon yaitu menggunakan energi alternatif (non-fosil) yang gas residunya lebih ramah lingkungan seperti biogas untuk memasak, biofuel, dan biodiesel untuk bahan bakar kendaraan/mesin. Sumber tenaga alam seperti sinar matahari, angin, dan air juga bisa digunakan sebagai sumber tenaga pengganti yang lebih ramah lingkungan dan tidak menimbulkan karbon sehingga bisa mengurangi emisi gas rumah kaca.
Selain langkah preventif di atas, langkah represif untuk menghilangkan gas karbon dioksida dapat dilakukan. Di Norwegia, mereka menginjeksikan gas tersebut ke sumur-sumur minyak di tambang minyak bumi lepas pantai untuk mendorong minyak bumi keluar ke permukaan. Injeksi ini dilakukan untuk mengisolasi gas ini di bawah tanah seperti dalam sumur minyak, lapisan batubara atau aquifer. Karbon dioksida yang terbawa ke permukaan bersama gas alam ditangkap dan diinjeksikan kembali ke aquifer sehingga tidak naik ke atmosfer.
Selain pendekatan alam, pendekatan manusia juga perlu dilakukan untuk memberikan pemahaman mengenai upaya penjagaan lingkungan. Merujuk pada makalah Ramli Utina dari Universitas Negeri Gorontalo, terdapat 5 prinsip yang dapat diterapkan yaitu dimensi manusia, penegakan hukum dan keteladanan, keterpaduan, mengubah pola pikir dan sikap, serta etika lingkungan.
Pada dimensi manusia, manusia yang seringkali serakah dan cenderung bersikap seenaknya perlu diberikan pemahaman bahwa ia harus menghargai alam yang menghidupinya. Pemerintah pun perlu melakukan penegasan terhadap hukum yang berlaku. sehingga menimbulkan efek mengikat dan memaksa. Sebagai panutan, oknum pemerintah juga harus memberikan teladan yang baik bagi masyarakat terutama dalam hal penjagaan dan pemanfaatan alam. Dalam keterpaduan, yang dimaksudkan adalah korelasi antar unsur satu dengan yang lain harus dimanfaatkan. Contohnya, sektor kehutanan memaksimalkan reboisasi dan mengurangi pembalakan liar. Di sisi lain, sektor industri dan transportasi mengurangi mengurangi penggunaan bahan bakar fosil dan memanfaatkan energi alternatif, sedangkan pada sektor kelautan dan penambangan melakukan penjagaan laut terutama kegiatan penambagan minyak bumi. Maka, gas-gas penyebab efek rumah kaca dapat dikurangi bahkan dihilangkan.
Perubahan pola pikir pun perlu ditanamkan. Manusia seharusnya memiliki naluri untuk mencintai lingkungan dan memperlakukan alam dengan sebagaimana mestinya, dan menggunakan logikanya untuk sadar bahwa alam harus dijaga. Bahkan sejatinya nilai tradisional yang tumbuh dan berkembang di masyarakat selalu mengajarkan bahwa konservasi lingkungan dan alam adalah hal yang mutlak. Etika dan nilai moral tradisional secara implisit telah mengajarkan bahwa manusia harus bersikap secara arif dan bijaksana dengan lingkungan. Pemikiran ini akan memengaruhi secara praksisnya untuk selalu menjaga kelangsungan alam. (Shafna)
Daftar Pustaka
Utina, R. (2008). PEMANASAN GLOBAL: Dampak dan Upaya Meminimalisasinya.
NASA: Global Warming to Cause More Severe Tornadoes, Storms, Fox News, August 31, 2007.
Hansen, James (2000). "Climatic Change: Understanding Global Warming". One World: The Health & Survival of the Human Species in the 21st Century. Health Press. Retrieved 2022-04-09.
0 Comments: