Rabu, 10 Mei 2023

Lingkar Diskusi FISIP : Refleksi Kritis Pendidikan Pasca Reformasi

(Diskusi yang dilaksanakan di area Hutan FISIP UNS/Dok. Lia)


     Lpmvisi.com, Solo – Lingkar Diskusi FISIP UNS yang diselenggarakan Rabu (10/5) merupakan kegiatan diskusi yang telah diselenggarakan dengan apik atas kolaborasi antara Badan Eksekutif Mahasiswa Fakultas Ilmu Sosial Politik  Universitas Sebelas Maret (BEM FISIP UNS), Front Mahasiswa Nasional Universitas Sebelas Maret (FMN UNS), dan Kesatuan Aksi Mahasiswa Muslim Indonesia Universitas Sebelas Maret (KAMMI UNS). Penyelenggara mengadakan kegiatan diskusi tersebut guna menjaring berbagai pandangan kritis mengenai pendidikan pasca reformasi dan berharap audiens dapat menyadari bahwa kondisi pendidikan di Indonesia saat ini sedang tidak baik-baik saja.

    Refleksi pendidikan pasca reformasi menjadi topik yang menarik untuk diangkat dalam lingkar diskusi mengenai bagaimana idealnya sebuah pendidikan itu sendiri. Diskusi berjalan sejak pukul 16.00 WIB hingga pukul 17.40 WIB di hutan FISIP dengan dihadiri oleh beberapa mahasiswa UNS dari berbagai fakultas dan perwakilan organisasi. Theofilus Apolinaris Suryadinata, S.Fil.,M.A, dosen Sosiologi FISIP UNS, sebagai pemantik dalam lingkar diskusi FISIP UNS ini tidak sendirian memberikan gambaran kondisi pendidikan saat ini, melainkan didampingi oleh  9 panelis yakni Rimadenda Arya (FMN UNS), Adestra Ayub S.(KAMMI UNS), Khafid Alfian R. (HMI DIPO), Gazalba Imanuddin (IMM KBH UNS), M. Rifqi Hananto (PMII UNS), Athariq Wibawa (GMNI UNS), dan Fikri Ahnaf Diaz (HMI MPO).

    Pemantik menggunakan pendekatan teori Lahong dalam membahas topik yang diangkat dalam lingkar diskusi FISIP. Menurut Lahong, dunia (realitas) jauh sebelum dibahasakan. Dalam hal ini perlu diketahui bagaimana realitas pendidikan yang terjadi di Indonesia terlebih dahulu.

    Berdasarkan data statistik tahun 2022, pada tahun 2012-2022 peningkatan bertahap  dialami orang yang telah menjalankan wajib belajar sebesar 50%. Dari peningkatan tersebut, 70% orang di Indonesia telah menamatkan pendidikan pada jenjang Sekolah Menengah Atas (SMA), dan sekitar 10,15% orang Indonesia mampu mengakses pendidikan hingga perguruan tinggi.

    Data tersebut mengindikasikan bahwa terdapat peningkatan dalam mengakses Pendidikan, terutama pada jenjang SMA ke bawah akibat sistem zonasi. Memang sudah selayaknya pendidikan mampu diakses oleh setiap orang pada zaman sekarang, meskipun hal ini tidak terjadi pada jenjang perguruan tinggi. Semakin tinggi jenjang pendidikan, maka semakin sedikit partisipasi masyarakat. Tentunya, tantangan pendidikan antara zaman sebelum reformasi dan pasca reformasi berbeda. 

Tantangan dan permasalahan pendidikan yang muncul semakin kompleks akibat masuknya konsep neoliberalisme ke dalam pendidikan. Konsep neoliberalisme pada perguruan tinggi jelas nampak pada pemberian status Perguruan Tinggi Berbadan Hukum (PTN-BH) oleh Kemendikbud kepada beberapa perguruan tinggi negeri (PTN). PTN yang menyandang sebagai PTN-BH tersebut dianggap telah mampu mengelola otonomi kampus dan keuangan secara mandiri. Namun realitamya, kampus masih bergantung pada dana Anggaran Perencanaan Belanja Negara (APBN) yang disubsidikan. Jadi, tidak heran apabila otonomi kampus sering bermasalah, bahkan menggunakan dana mahasiswa.

Kultur akademik yang toksik turut mewarnai dunia pendidikan saat ini. Kultur toksik tersebut terbentuk dari kebiasaan yang sebelumnya tidak disadari dapat memberikan efek yang luar biasa. Kultur toksik ini tercermin pada anggapan-anggapan yang dibenarkan, seperti jangan mengkritik senior maupun mahasiswa dilarang bertanya yang menandakan seolah-olah kebenaran hanya dianggap benar akibat posisi kekuasaan yang dimiliki seseorang.  Kultur toksik sering menyebabkan seseorang terobsesi untuk  mendapatkan status sosial dengan cara yang instan, fatalnya kultur toksik juga dapat memicu munculnya tindakan pelecehan seksual

Berbagai permasalahan pendidikan terjadi, bahkan sistem zonasi yang tidak dibarengi dengan penyediaan kualitas dan fasilitas pendidikan yang baik tidak mampu menjawab upaya pemerataan akses pendidikan. Athariq, salah satu panelis yang berasal dari Palu, mengungkapkan bahwa pada daerah tempat tinggalnya akses pendidikan belum merata bahkan susah dijangkau oleh siswa yang berasal dari keluarga kelas menengah ke bawah. Dalam hal ini Pendidikan menjadi peluang besar yang dapat dirasakan siswa dari kalangan keluarga kelas menengah ke atas karena mereka mampu menyiasati sistem zonasi tersebut agar anaknya dapat bersekolah pada sekolah yang jauh lebih baik. Bahkan mereka berani menyiasatinya dengan mengubah data kependudukan, seperti mencantumkan nama ke dalam Kartu Keluarga (KK) sanak keluarga terdekat dari lokasi sekolah yang diinginkan. Hal ini telah menjadi hal yang lazim terjadi dalam masyarakat daerah tersebut. Kondisi real pendidikan ini sangat miris terjadi di Indonesia.  

Usaha dalam menggelorakan pendidikan pada era sebelum reformasi tentu berbeda dengan pendidikan pasca reformasi. Dulu, untuk mengenyam pendidikan sangat susah sehingga para pemuda Indonesia mengecam pemerintah dan sampai sekarang hasil perjuangan para pemuda Indonesia dapat kita rasakan. Perlu kita sadari, tanpa usaha para pemuda dalam mengusahakan pendidikan, maka kita tidak akan dapat mengenyam pendidikan melalui berbagai akses. Oleh karena itu panelis berharap budaya intelektual dan budaya diskusi di kampus perlu digerakkan kembali agar kedepannya arah pendidikan di Indonesia semakin jelas dan tujuan pendidikan akan lebih mudah tercapai. (Lia)


SHARE THIS

0 Comments: