(Para pembicara dan moderator yang melihat penonton dari panggung diskusi/Dok. BEM UNS/Panita) |
Lpmvisi.com, Solo - Kolaborasi antara Badan Eksekutif
Mahasiswa Universitas Sebelas Maret UNS (BEM UNS), Badan Eksekutif Mahasiswa
Fakultas Hukum Universitas Sebelas Maret (BEM FH UNS), dan Badan Eksekutif
Mahasiswa Fakultas Ilmu Sosial dan Politik Universitas Sebelas Maret (BEM FISIP
UNS), kegiatan diskusi publik bertajuk
“Quo Vadis Demokrasi” sukses diselenggarakan di
Auditorium GPH Haryo Mataram UNS pada Rabu (14/6/2023). Panitia berharap
diskusi tersebut dapat menjadi pemantik iklim diskusi di UNS maupun secara umum
mengingat kondisi demokrasi yang kini semakin terpinggirkan.
Walaupun terkesan
mendadak dalam persiapan penyelenggaraan acara ini, tepatnya kurang dari satu
minggu, panitia berhasil menghadirkan tiga pembicara politik ternama, yaitu Aris
Arif Mundayat, Ph.D, Dosen Sosiologi UNS, Rocky Gerung, Pengamat Politik, dan
Saut Situmorang, Pimpinan KPK 2015-2019. Dengan melihat animo peserta yang
sangat tinggi, dalam waktu kurang dari tiga jam panitia akhirnya mengubah
tempat acara yang sebelumnya akan dilaksanakan di Agrobudaya UNS menjadi di
Auditorium GPH Haryo Mataram UNS. “Walaupun demikian, acara ini melebihi
ekspektasi apa yang kita bayangkan dari segi peserta ataupun kondisi forum, itu
artinya memang banyak yang resah terhadap demokrasi yang sedang berjalan.”,
ungkap Prama, Presiden BEM FISIP UNS 2023.
Kondisi politik
di Indonesia saat ini dan ketertarikan mahasiswa pada dunia politik tentu
menjadi alasan lain bagaimana acara ini bisa berjalan dengan cukup sukses.
Banyak mahasiswa yang ingin tahu tentang bagaimana pandangan para pengamat
tokoh politik ini dalam menanggapi situasi politik yang ada saat ini. Kemudian
dengan adanya forum ini seolah menjadi kesempatan bagi mereka untuk mendapatkan
informasi dan pengetahuan lebih terkait dengan dunia politik di Indonesia saat
ini.
“Betulkah
Patron-Klien Dan Populisme Penyakit Sistem Politik Indonesia” menjadi topik
bahasan yang diangkat dalam diskusi publik. Diskusi dimoderatori oleh M.
Khairil Ibadu Rahman sebagai moderator, Presiden BEM FMIPA UNS 2022. Dilarang
dungu menjadi aturan awal dalam kegiatan diskusi tersebut. “Persoalan
patron-klien sudah menjadi permasalahan klasik yang tumbuh dalam ruang politik
demokrasi”, ungkap Aris Arif Mundayat. Patron dimaknai sebagai para pelaku oligarki
dan para pengikutnya disebut sebagai klien. Dalam konteks Indonesia terdapat
dua patron besar yang terjadi, yaitu oligark politik dan oligark bisnis.
Aris Arif Mundayat juga
menjelaskan bahwa politic business
alliance terjadi di Indonesia dengan menyertakan data dari detik.com bahwa
sebanyak 55% anggota DPR berasal dari kalangan pebisnis. Ketika para oligark
politik dan oligark ekonomi berselingkuh, maka akan terjadi oligarki dan
menjadi masalah serius. Dalam menanggapi banyaknya korupsi yang dilakukan para
pejabat negara, beliau memahami bahwa masyarakat Indonesia adalah masyarakat
feodal sehingga beliau mengusulkan hu kuman berupa penurunan hierarki terhadap
koruptor.
Sesi diskusi
dilanjutkan oleh Saut Situmorang yang menanggapi kondisi quo vadis demokrasi
Indonesia dan sistem perpolitikan Indonesia. “Dalam berada di antara patron dan
klien, Anda harus pragmatism, Anda harus berada di ujung-ujung bahaya”, ucap
Saut Situmorang. Jujur, peduli, mandiri, tanggung jawab, berani, sederhana, dan
adil dapat menjadi integritas yang harus dimunculkan.
Senior pengamat
politik yang sering dijuluki sebagai Presiden Akal Sehat, Rocky Gerung, turut
memberikan insight mengenai fenomena
politik terkait dengan sistem politik tertutup dan terbuka. Sistem politik tertutup dapat
diibaratkan seperti memilih kucing dalam karung. Sistem politik terbuka
cenderung lebih transparan. Meskipun demikian, memasukkan surat suara pada
tempat yang kotak suara yang dikunci
menandakan ketidakpercayaan yang muncul.
Hambatan demokrasi
yaitu tidak dapat ditentukannya locus
dari demos. Demokrasi dapat diakui
sebagai pemerintahan dari rakyat kembali ke rakyat, namun di Indonesia kata
rakyat tidak memiliki makna atau artian yang sama seperti kata rakyat di
Prancis. “Rakyat nrimo”, begitulah ucap Bung Rocky dalam
menggambarkan kondisi di Indonesia. Menurutnya, pada masa-masa ini kita perlu
berbicara dengan argumentasi yang kuat. Langkah yang perlu dilakukan, yaitu
langkah keluar dari otoriter dan langkah masuk ke demokrasi. Beliau memandang
Indonesia masih berada di proses keluar dari otoriter belum sampai masuk ke
demokrasi.
Usai sesi
diskusi, panitia memberikan termin sesi bertanya bagi para peserta. Antusias
peserta sangat tinggi untuk bertanya kepada para pembicara. Hadirnya para
pembicara hebat dalam diskusi publik tersebut mampu memberikan pemahaman bagi
para peserta mengenai quo vadis demokrasi Indonesia. Vika (19), salah satu
peserta kegiatan mengakui bahwa ia mendapatkan pandangan untuk memilih pemimpin
kedepannya, mengingat 2024 menjadi kesempatan pertamanya untuk ikut mencoblos dalam Pilpres 2024. Menurut Zia (21),
gebrakan diskusi ini diharapkan mampu untuk merangsang diskusi lain sehingga
iklim diskusi di perguruan tinggi dapat berkembang.
Kesuksesan acara
diskusi ini dapat dijadikan sinyal atau representasi dari bentuk antusiasme
mahasiswa terhadap kondisi politik saat ini. Situasi tersebut tentu merupakan
hal bagus sebab sudah tugas mahasiswa untuk lebih peduli kepada kondisi negara
saat ini. Hal ini juga dapat dijadikan penunjang bagi pihak kampus untuk lebih
terbuka dalam mengadakan forum-forum diskusi seperti ini agar mahasiswa dapat
lebih mudah dalam mendapatkan informasi dan pengetahuan terkait dengan dunia
politik Indonesia. (Lia, Windy, dan Azra)
0 Comments: