(Dok. Pinterest) |
Oleh: Revalita Meina A
“Ivan!” Seruan dari seorang gadis membuat kepala Ivan tertoleh, ia tersenyum tipis melihat gadis berambut pirang itu menghampirinya dengan senyuman secerah mentari pagi ini. Ellena, gadis yang kini berada di hadapannya itu sudah ia sukai sejak masa SMA. Mereka sahabat dekat yang sudah seperti keluarga, melengkapi satu sama lain. Karena itulah, Ivan tidak bisa mengungkapkan perasaannya kepada Ellena, dan ada alasan lain juga- “Ivan, coba lihat ini, dia terlihat sangat keren bukan?” ucapan Ellena membuat Ivan tersadar dari lamunannya. Ia memerhatikan foto seorang pria sebaya dengannya dari ponsel Ellena. Ivan hanya mengangguk dan tersenyum tipis. Ellena tersenyum senang dan bercerita tentang betapa kerennya cowok itu, seperti yang biasanya ia lakukan. Ivan pun hanya menanggapi dengan anggukan sekilas, atau sesekali berceloteh bahwa ia lebih tampan daripada cowok itu, Ellena akan menanggapinya dengan pukulan pelan atau wajah cemberut imutnya, setelah itu mereka pun akan tertawa bersama. Inilah alasan Ivan tak bisa mengungkapkan perasaannya, Ellena menyukai pria lain.
Menyembunyikan perasaan dan menahan pedihnya melihat Ellena tersenyum karena pria lain memang tidak mudah, namun Ivan sudah berhasil menahannya selama lima tahunan ini. Ia selalu menjadi tempat bercerita Ellena tentang cowok yang disukainya. Ivan setia mendengarkan celotehan sahabat sekaligus gadis yang disukainya itu, ia juga sering melihat penampilan Ellena dari belakang saat mereka berjalan bersama. Seringkali Ivan ingin menggenggam tangan Ellena dan berjalan berdampingan. Namun ia tahu bahwa hal itu tak akan pernah terjadi, ia tidak akan pernah bisa menandingi pria yang disukai Ellena, menggenggam tangannya merupakan hal yang mustahil. Ia pun sadar bahwa ia harus menekan perasaannya sendiri, ia harus cukup bersyukur dapat terus melihat senyumannya, meskipun hanya sebatas sahabat.
Senyumannya, tingkah lakunya, tawa cerianya, mata biru langitnya, semua hal itu –bahkan lebih– disukai oleh Ivan. Saat kelas satu SMA, Ellena yang pertama mendatanginya, tersenyum, dan mengulurkan tangan untuk mengajak berkenalan. Ia tahu bahwa kebaikannya tak hanya ditujukan kepadanya, ia tahu bahwa Ellena mendekatinya karena memang begitulah sifatnya, suka merangkul orang lain. Mereka menjadi dekat karena Ivan tak sengaja melihatnya menangis di belakang sekolah dengan memegang selembar kertas berisi cacian dari teman-teman munafiknya. Kekerasan memang bukan jalan yang disukai Ivan, namun untuk gadis itu, ia akan melakukan apapun. Begitulah, hingga lulus SMA tak ada satupun orang yang mengganggu Ellena lagi.
“Ellie, aku menyukaimu,” sejenak, gadis itu terdiam lalu tertawa renyah, “aku juga menyukai Ivan.” Senyumannya membuat Ivan sejenak berharap. Ia sadar ucapan Ellena bukan seperti yang ia bayangkan, ia pun bertanya untuk memastikan, “seperti sahabat?” Ellena terlihat bingung sejenak, “tentu saja, kamulah sahabat terbaikku, dan aku menyukaimu karena itu.” Ivan menghela napas dan tersenyum tipis sembari menatap langit malam. Angin berhembus, membuat area sekitar jendela dingin, mereka pun masuk kembali ke dalam kelas– “Nanti malam kita mengerjakan tugas di apartemenku bagaimana?” Saran Ellena membuyarkan lamunan singkat Ivan. Ia mengangguk sembari membereskan alat tulisnya dan berjalan santai keluar dari kelas sore itu. Ellena mengikutinya dengan riang dan berceloteh tentang banyak hal.
Malam itu mereka mengerjakan tugas kuliah seperti biasa, sembari bersenda gurau dan memakan cookies buatan Ellena. Dua jam kemudian, Ivan membaringkan tubuhnya di atas karpet sembari menghela napas dan meregangkan tubuh sejenak. Ellena masih sibuk dengan laptop silver miliknya. Ivan tertawa pelan, yang membuat Ellena menatapnya heran, namun Ivan hanya membalas dengan mengangkat bahunya. Ia beranjak berdiri dan berjalan di sekitar ruangan, melihat ruang tamu Ellena yang terdapat beberapa foto seorang cowok yang sangat sering ia lihat. Ivan meraih salah satu pigura dan menatapnya lekat, pandangannya pun teralihkan ke sebuah tiket penerbangan di meja kecil tempat ia menemukan foto itu.
“Kamu akan bertemu dengannya?” Pertanyaan Ivan membuat gerakan mengetik Ellena terhenti, pandangannya terfokus kepada sahabatnya yang sedang memegang sebuah foto dan tiket penerbangan. Ellena tersenyum dan sedikit tersipu, ia pun menggangguk sembari menghampiri Ivan. “Aku akan pergi minggu depan, tak lama, hanya sekitar lima hari. Lagipula, minggu depan kita memasuki liburan bukan?” Ivan mengangguk pelan dan mengelus kepala gadis itu, “Jaga dirimu baik-baik.” Ucapannya ditanggapi anggukan oleh Ellena. Tak lama, mereka pun kembali berjibaku dengan tugas.
Seminggu kemudian di bandara internasional, Ivan tersenyum melihat sahabatnya yang riang itu bersemangat menunggu keberangkatan pesawat. Meskipun merasakan sedikit sakit hati dan rasa miris, namun hal ini sudah terbiasa baginya. Ia pun hanya perlu menutupinya dengan senyuman tipis, ucapan menjaga kesehatan, dan lambaian tangan –ya, hanya hal-hal yang biasa dilakukan seorang sahabat.–
Ping! Ponsel Ivan sore itu berdenting pelan, sudah hari kedua sejak Ellena pergi menemui pria yang ia sukai, dan selama itulah ia menunggu kabar dari sahabat dekatnya itu. Ia mengecek ponsel dan tertawa pelan melihat tingkah Ellena di foto yang ia kirimkan. Ellena di foto itu tersandung dan membuat pria yang ada di sebelahnya terkejut dan refleks memegang tangan gadis itu. Mungkin karena kabel, atau gugup, Ellena jadi tersandung di acara konser itu. Walaupun merasa sedikit cemburu karena tangan gadis yang selalu berada di dekatnya dengan mudahnya dipegang pria lain, ia sembunyikan dengan tawa mirisnya.
“Ah sial! Aku tersandung TT,” ucap Ellena pada caption foto itu, namun dilanjut olehnya, “Namun Lucas memegang tanganku XD.” Sambungnya, yang di-reply “Haha, kalau aku ada di sana, sudah pasti akan aku olok kamu habis-habisan.” Balasannya itu membuat Ellena jengkel dan mengirimkan emoticon marah yang justru ditanggapi emoticon tertawa oleh Ivan. Setengah jam kemudian mereka masih saling mengobrol via chat dengan diliputi emosi yang berbeda. Ping! Ada pemberitahuan bahwa Ellena memposting sesuatu di akun media sosialnya. Ivan pun mengecek postingan itu, sebuah foto dimana Ellena memegang lightstick dan tiket konser dengan caption, ‘akhirnya dapat bertemu dengan pacar X3.’ Ivan terkekeh pelan dan memberikan komentar, ‘pacar sejuta umat.’ Ellena membalas dengan emoticon marah. Ivan tertawa pelan dan membaringkan tubuhnya. Sejenak ia berpikir, betapa miris hidupnya, gadis yang ia sukai jatuh cinta kepada salah satu personil boyband dan bahkan ia tak pernah menganggap Ivan sebagai laki-laki.
Tamat.
0 Comments: