(Menulis, salah satu cara menunjukkan ekspresi/Dok. Pinterest) |
Oleh: Kahfi Maftukhah
Siang itu, suhu udara sungguh panas. Kurasakan keringat membasahi tubuhku dan kubayangkan seporsi es teler yang menyegarkan masuk ke tenggorokanku. Ahhhh, sungguh nikmat rasanya. Sayangnya, tiba-tiba saja sekelebat hitam muncul di depanku. Membuyarkan lamunanku dan saat ku tengok dia sudah tak ada di depanku. Lalu, kulihat sekitar. Ada banyak orang di sana. Satu, dua, tiga, tak cukup aku menghitung dengan jari mungilku ini.
“Hai, apa yang kau lihat?” seseorang menepuk pundakku dan mengajukan sebuah pertanyaan untukku.
“Tidak ada. Hanya sesuatu yang sama seperti biasanya” jawabku.
“Ohh, tidakkah kau lihat sesuatu yang berbeda?” tanyanya lagi. Lalu aku mengernyitkan dahiku dan mulai berpikir. Apa yang berbeda? Apa yang tak tampak seperti biasanya? Ohhh, apakah kursi itu? Kursi di jembatan yang hari ini diduduki seorang lelaki yang sudah lama ingin kutemui. Tapi, bukan itu rupanya.
Hening. Hening selama bebeapa saat, dan aku rasakan sebuah kotak ada dalam genggamanku, sejak lama. Sejak aku meletakkan tubuhku di tempat ini. Lalu, aku sadar, ohh ini. Ini yang berbeda. Ini yang membuat suasana ini terasa sepi, terasa sendiri, walau banyak orang di sekitar sini. Semua sibuk memainkan benda ini, hingga lupa dengan kanan-kiri. Lupa berinteraksi, lupa peduli, dan lupa untuk saling mendekatkan diri. Termasuk aku. Termasuk aku yang bahkan tidak menyadari bahwa sejak tadi kelabat hitam itu sudah wora-wiri mencari simpati, mencari rasa peduli, dan mencari kesadaran dari orang-orang ini bahwa dirinya membutuhkan bantuan. Bantuan untuk bertahan hidup sehari lebih lama lagi. Lalu, aku termenung dan…
“Meong” yahh, kelabat hitam itu bersuara lagi, dan menyadarkanku sekali lagi.
0 Comments: