(PLDPI sebagai salah satu upaya pemerintah terhadap ABK yang termarginalisasi/Dok. Kelompok 5 Sosiologi Perkotaan 21 B) |
Pendidikan merupakan kegiatan universal di dalam kehidupan manusia sebagai salah satu upaya untuk mengembangkan potensi, bakat, dan kualitas diri. Berdasarkan pembagiannya, pendidikan sendiri dibagi menjadi dua, yaitu pendidikan formal dan pendidikan non-formal. Salah satu cara untuk mengupayakan agar pendidikan dapat merangkul setiap jenis lapisan masyarakat, yaitu dengan cara digunakannya model pelayanan inklusif atau inclusive development - inclusive society di berbagai layanan pendidikan. Namun, pada kenyataannya penerapan dari model pelayanan inklusif masih belum sepenuhnya terealisasikan, terutama di sekolah-sekolah umum.
Penerapan dari model pelayanan inklusif yang masih belum terealisasikan secara penuh sejalan dengan keterangan dari narasumber (P), sebagai orang tua dari anak yang memiliki ASD dan sedang menempuh pendidikan PAUD:
“[...] ketahuan kalau ternyata anak saya itu ASD [...] sebenernya bisa dibilang iya bisa dibilang nggak sih. Dulu tuh pas di PAUD umum sempet dirundung kali ya bahasanya karena mungkin teman-temannya ngeliat kalo anak saya kok beda gitu dari mereka.”
Anak dari narasumber (P), ketika sedang menempuh pendidikan PAUD telah mendapatkan pengalaman diskriminatif dari teman-temannya hanya karena dirinya berbeda. Teman-teman di sekolahnya merasa bahwa perbedaan yang dimiliki oleh anak dari narasumber (P) merupakan sebuah ketidaknormalan. Hal tersebut menyebabkan anak dari narasumber (P) lebih rawan untuk dijadikan sebagai sasaran perundungan. Perundungan pada akhirnya mengakibatkan adanya perasaan teralienasi yang mengakibatkan korbannya menjadi terisolasi.
Dengan demikian, marginalisasi terhadap ABK di lingkungan sekolah masih dapat ditemui. Marginalisasi biasanya ditemukan dalam bentuk subordinasi dari kelompok dominan. Salah penyebab dari marginalisasi adalah stereotip negatif yang berkembang di masyarakat. Hal ini sesuai dengan data yang ditemukan, yaitu anak dari narasumber mengalami subordinasi dan diskriminasi akibat dari kurangnya pemahaman anak-anak ataupun orang tua terhadap ABK, sehingga dalam praktik kehidupan bersosial, mereka masih terjebak dengan cara berpikir dikotomis seperti “normal” dan “tidak normal”.
Dalam lingkungan masyarakat, semua elemen masyarakat atau organisme sosial memiliki fungsi yang mempertahankan stabilitas dan kekompakan dari organisme. Dengan kata lain, manusia saling bergantung satu dengan yang lainnya untuk menjaga keutuhan masyarakat. Begitu pula dengan anak-anak berkebutuhan khusus. Tentunya, mereka ingin ikut terlibat dalam dunia disekitarnya dan ingin mendapatkan perhatian dari orang-orang di sekitarnya.
Adanya pemahaman dan kesadaran yang minim ini mengakibatkan perlakuan yang tidak sesuai dan kurangnya dukungan yang diperlukan.
“Mungkin kalau di masyarakat luas, seperti kalo saya ajak ke mall kan mungkin banyak orang yang belum tau jadi mereka ngeliatin terus dengan memandang aneh atau sinis gitu. Awalnya sih jengkel tapi saya tegur dan jelaskan saja. Kalo di lingkungan sekitar rumah, paling lebih ke tetangga-tetangga memandang aneh aja karna mereka kan belum pernah atau mungkin belum terbiasa melihat anak saya yang berbeda gitu.”
Dalam hal ini, anak-anak berkebutuhan khusus realitanya masih menghadapi beberapa tantangan dalam mengintegrasikan diri di lingkungan masyarakat, baik lingkungan rumah maupun pada masyarakat luas. Masyarakat mungkin tidak sepenuhnya paham akan kebutuhan dan keistimewaan dari anak-anak ini sehingga masih memandang ABK dengan tatapan yang kurang baik atau sebelah mata. Keberadaan stigma sosial dan cultural beliefs yang masih melekat kuat di lingkungan sosial juga membuat orang tua memutuskan untuk tidak menyekolahkan anaknya dan memutuskan untuk menjaga anaknya di rumah.
Sadar ataupun tidak, kondisi yang berbeda yang melekat pada diri ABK kerap menjadi stimulus yang memancing respons yang kurang bersahabat bagi proses perkembangan diri anak berkebutuhan khusus. Pengalaman ABK terkait sikap resistensi lingkungan terhadap mereka, seperti marginalisasi serta penolakan-penolakan yang disadari atau tidak bagi pelakunya akan berdampak pada ketidakmampuan ABK untuk menerima dirinya.
Dampak dari marginalisasi ini beragam, tergantung pada jenis dan bentuk marjinal yang terjadi pada korban marginalisasi itu sendiri. Adapun contoh dari dampak marginalisasi terhadap anak berkebutuhan khusus ini yaitu, adanya penurunan kualitas hidup seperti menurunnya rasa percaya diri, kaum yang termarjinalkan tersebut akan merasa terintimidasi, masyarakat atau kelompok yang terpinggirkan merasa haknya di masyarakat telah dirampas dan tidak terpenuhi, kelompok yang termarginalkan merasa dirinya mendapatkan pembedaan dalam berbagai hal di masyarakat dan mendapatkan ketidakadilan. Hal ini sejalan dengan yang dipaparkan oleh informan dengan inisial (P) sebagai orang tua ABK yang terapi di PLDPI, dimana pada pernyataan beliau anaknya yang memiliki kebutuhan khusus tersebut mengalami marginalisasi oleh lingkungannya.
“Sejauh ini kalo di lingkungan sekitar rumah ya khususnya, tiap anak saya mau main keluar gitu sama temen-temennya pada nolak gitu pada gamau. Makanya dia lebih nyaman kalo main sama yang lebih tua gitu, kayak mbah-mbah depan rumah.”
Anak berkebutuhan khusus seringkali mengalami diskriminasi dan marginalisasi di masyarakat. Namun, ada beberapa hal yang dapat dilakukan untuk membantu mereka. Beberapa cara untuk membantu mereka melewati marginalisasi dengan memberikan pengertian kepada setiap orang bahwa anak berkebutuhan khusus merupakan anak spesial, yang mana dirawat dengan penuh kasih sayang lebih dari keluarga. Anak berkebutuhan khusus yang termarginalisasi hanya perlu penyesuaian di masyarakat, karena terdapat harapan orang tua yang menginginkan anaknya dapat bersosialisasi dengan masyarakat sekitar.
Dukungan juga merupakan upaya bagi anak berkebutuhan untuk terus semangat dalam menjalani hari-hari. Dukungan dan penerimaan dari setiap anggota keluarga akan memberikan “energi’’ dan kepercayaan dalam diri anak dan remaja yang berkebutuhan khusus untuk lebih berusaha meningkatkan setiap kemampuan yang dimiliki, sehingga hal ini akan membantunya untuk dapat hidup mandiri, lepas dari ketergantungan pada bantuan orang lain.
Selain dari pihak keluarga, dukungan pemerintah dirasa penting bagi anak berkebutuhan khusus karena dapat membantu mereka mendapatkan hak yang sama dengan anak normal lainnya. Pemerintah Indonesia telah melakukan beberapa upaya untuk meningkatkan kesadaran masyarakat mengenai anak berkebutuhan khusus, seperti menerbitkan peraturan perundang-undangan mengenai hak-hak anak berkebutuhan khusus dan memperkenalkan program inklusivitas di berbagai sekolah di seluruh negeri. Selain itu, ada pula Peraturan Perundang-undangan mengenai Anak Berkebutuhan Khusus sebagaimana yang telah ditetapkan dalam Pasal 54 Undang-Undang Nomor 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia. Pasal ini menyatakan bahwa setiap anak yang cacat fisik dan atau mental berhak memperoleh perawatan, pendidikan, pelatihan, dan bantuan khusus atas biaya negara, untuk menjamin kehidupannya sesuai dengan martabat kemanusiaan.
Pelayanan yang diberikan pemerintah dalam bentuk sekolah inklusi, merupakan bentuk upaya pemenuhan hak anak-anak berkebutuhan khusus. Adapun berdirinya Pusat Layanan Disabilitas dan Pendidikan Inklusi (PLDPI). Pusat ini dibentuk berdasarkan peraturan Gubernur nomor 0101 tanggal 21 Desember 2018, dahulunya bernama Pusat Layanan Autis (PLA). PLDPI bertujuan untuk memberikan pelayanan pada anak-anak penyandang disabilitas, termasuk anak berkebutuhan khusus, dalam menuju pendidikan inklusi. Untuk kota Surakarta, PLDPI berada di Kecamatan Jebres, pusat pelayanan ini menyediakan pelayanan konsultasi, pelayanan assessment, pelayanan intervensi terpadu (pelayanan intervensi keterapian terpadu: terapi okupasi, fisioterapi, terapi wicara, terapi perilaku dan pelayanan intervensi medis) dan layanan pendidikan.
“Untuk pelayanan assesment di sini tidak melihat latar belakang apapun, baik anak tersebut sudah sekolah maupun belum, baik dari golongan mampu ataupun tidak, baik anak ini berasal dari Kota Solo ataupun luar Solo. Kita tidak membedakan dari segi ekonomi atau pendidikan. Dan semuanya dibiayai oleh pemerintah, jadi masyarakat disini gratis. Terkait pelayanan intervensi terpadu juga dibiayai oleh pemerintah. “
Pernyataan dari salah satu staf PLDPI Kota Surakarta tersebut menunjukan bahwa anak berkebutuhan khusus di kota ini dan sudah diberikan opsi untuk mendapat akses pendidikan dan bimbingan. Dengan 264 anak penyandang disabilitas yang mendapat pelayanan saat ini, diharapkan mereka dapat terpenuhi haknya dan terhindar dari segala bentuk marginalisasi di masyarakat. Dukungan orangtua hingga bantuan yang disediakan pemerintah diperlukan anak berkebutuhan khusus untuk membantu mereka secara moral dan materi. (Dian Ayu Puspasari, Jennifer Aisha, Nabila Mahadewi, Nafisa Sausan Fadhila, Ryan Putra Saladenta)
0 Comments: