(Seorang atlet lari perempuan/Dok. Pinterest) |
Oleh: Niken Ayu M.
Harapan, satu kata dengan makna yang luar
biasa. Mampu dirasa setiap orang, diyakini dalam hati, tersemat dalam logika,
serta bergantung kepada Rabb pemilik semesta. Definisi harapan menurutku adalah
suatu hal yang harus dikejar saat kita di dunia hingga bertemu Pencipta kelak
di akhir masa.
"Selalu ada cahaya bagi mereka yang penuh
harap."
Suatu
untaian kata yang sangat kupercaya, karenanya aku mengerti arti kerja keras tak
lupa menepis putus asa yang sempat hadir ke dalam jiwa. Aku sempat ragu dan tak
lagi percaya tentang sebuah pengharapan di kala waktu merenggut semua. Ketika
aku terpuruk dalam suatu kondisi di mana aku merasa semesta mengambil permata
yang aku banggakan di pelosok dunia.
Kala
waktu itu menemani hariku, aku merasa Tuhan sangat tidak adil kepadaku. Aku
marah kepada Tuhan. Karena-Nya, duniaku terlihat gelap tertutup butiran keruh
yang sangat aku benci. Sebab ulahnya mahkotaku teriris, menyisihkan sisa yang
tiada guna.
Namaku
Rara, anak kedua dari pasangan suami istri yang aku panggil dengan sebutan papa
dan mama. Aku tinggal bersama mereka di sebuah perumahan, selain memiliki
mereka aku juga memiliki seorang kakak yang cukup dekat denganku.
Sedari
kecil, aku sangat suka untuk berolahraga. Salah satu cabang olahraga yang
kusuka adalah lari. Cita-cita ku kelak suatu hari ingin menjadi seorang atlet
yang mampu membanggakan nama negaraku. Aku telah menggeluti dunia lari sejak
aku duduk di bangku Sekolah Dasar.
Berbagai
perlombaan pun banyak yang telah aku coba, lebih beruntungnya sudah lebih dari
dua puluh perlombaan yang berhasil aku menangkan. Deretan trofi serta
sertifikat tersimpan rapi di rak kaca di ruang tamuku, sebagian lagi ada di
dalam kamar sebagai kehormatan yang tak akan pernah aku lupakan hingga aku
bahagia bersama anak dan cucuku kelak. Saat dimana aku bisa menceritakan
bagaimana pengalamanku dalam dunia lari dulu.
Papa
dan mama serta kak Juan juga sangat mendukungku dalam minatku ini. Kegemaranku
dalam dunia lari dimulai saat aku sering menonton kak Juan ikut berbagai macam
perlombaan. Prestasinya pun juga tak kalah hebat dariku, sejak itulah aku mulai
suka dan akhirnya dengan lari aku bisa menghasilkan suatu prestasi.
“Mah,
Pah, Rara ada kabar gembira untuk kalian semua,” kataku ketika kami tengah
makan malam di meja makan.
“Mau
lomba lagi?” tanya kak Juan tepat sasaran.
“Kakak
nih nggak asyik, kok bisa nebak sih?” gerutuku dengan raut sebal.
Mereka
terkekeh, “Kakak juga ikut, makanya kakak tau. Lomba tingkat nasional itu kan?”
Aku
mengangguk, “Wah, seriusan? Kita rival nih ya jadinya?”
Kakak
menunjukkan kedua jarinya dari matanya menuju mataku, seperti orang yang hendak
mengancam.
“Lombanya random?” tanya Papa.
“Iya
pa, minimal umur 13 maksimal 18 gitu doang kata coach Rafi”
“Seru
dong kalian bisa latihan bareng,” ujar Mama. Kami tersenyum.
Setiap
hari Sabtu dan Minggu aku dan Kak Juan berlatih bersama di lapangan kota.
Sedangkan pada hari Senin hingga Jumat, aku ada jadwal latihan bersama guru
olahragaku di sekolah. Meski hampir setiap hari aku latihan, tapi aku tak
pernah mengeluh sedikitpun karena di depan sana telah tersemat bahwa aku harus
bisa memborong semua piala.
Terlebih
lagi, lomba kali ini akan mengantarkanku pada cita-citaku, yaitu menjadi atlet
nasional yang membawa harga diri bangsa di kancah nasional.
Hingga
tiba suatu hari, ketika aku tengah berangkat menuju lapangan mobil yang
dikendarai kakak mengalami kecelakaan.
“Kak,
nyetirnya pelan-pelan aja, Rara takut.” Aku waswas sembari memegangi seatbelt
dengan sangat erat.
“Payah,
santai aja kali,” kata Kak Juan menyetir mobil dengan kecepatan diatas
rata-rata.
Tiba-tiba
datang sebuah truk dari arah kiri, hingga menabrak mobil yang aku tumpangi.
Mobil ayah terlempar cukup jauh kira-kira sekitar dua meter dari tempat
kejadian. Kecelakaan itu begitu dahsyat hingga menimbulkan suara ledakan pada
mobil kami. Kak Juan kehilangan keseimbangan membuat mobil kami menabrak sebuah
pohon besar di tepi jalan.
Selepas
kejadian itu aku dan Kak Juan tak sadarkan diri. Warga membawa kami menuju rumah
sakit. Ketika aku membuka mataku, aku melihat seisi ruangan berwarna putih
dengan selang infus yang menempel pada tubuhku.
“Ma-ma.”
Aku memanggil mama dengan nada sangat lemah.
“Rara,
kamu dah sadar, Nak?” tanya mama sembari mencium keningku dengan air mata yang
membasahi kedua pipi tirusnya.
Aku
berusaha bangun, membenarkan posisi ku lebih tegak. Papa membantuku dengan
manarik bantal yang aku tiduri.
“Pah,
mah, kenapa kaki ku terasa ringan banget?” tanyaku saat aku mencoba menggerakan
kaki ku. Tapi aku tak bisa merasakan apapun, lalu aku buka selimut itu dan
mendapati kaki kanan ku telah tiada.
Dengan
nada terkejut aku bertanya kepada Mama, “Mama, kaki kanan Rara dimana? Ini
hanya mimpi kan? Mah jawab Rara!” kataku, Mama justru menangis tak sanggup
mengatakan apa yang terjadi.
Mama
menenangkanku tapi aku semakin menangis sejadi-jadinya disana .“Pah, kenapa
kaki Rara cuma ada satu? Kenapa kalian diem aja? Jawab Rara!”
“Rara
harus ikhlas ya, Nak. Ini semua demi Rara."
“Pah,
Mah, Rara sebentar lagi mau lomba, Tuhan hanya sedang nge-prank Rara kan?” kataku mirip orang depresi.
“Rara
mamah mohon kamu harus kuat, ya? Rara nggak boleh sedih. Tuhan tau yang terbaik
untuk Rara.” Aku menangis, air mata ku enggan berhenti.
“Ini
semua gara-gara Kak Juan, andai saat itu kakak nggak nyetir mobil dengan ngebut
nggak mungkin ini semua terjadi, Mah.”
“Maafin
kakak, Ra,” ujar kak Juan yang berdiri disamping brankar dengan perban di
kepala serta tangan kanannya.
“Kakak
sekarang puas? Bisa melihat Rara nggak berdaya seperti ini? Sekarang kesempatan
kakak buat menang lebih mudah kan? Kak Juan nggak perlu lagi bersaing sama Rara!”
Aku
menyalahkan Kak Juan atas semua ini, hari-hariku yang berwarna pudar seketika.
Yang bisa aku lakukan setiap hari hanya duduk diatas kursi roda. Tak ada hari
dimana aku berhenti menangis. Meski Papa dan Mama selalu memperhatikanku, mereka
tidak mampu mengembalikan mahkota yang aku banggakan itu. Sejak hari itu, aku
sudah tak menganggap kak Juan sebagai saudaraku. Aku menganggapnya sebagai
musuh terbesar dalam hidupku. Dia telah merusak semuanya, merusak cita-cita
yang ingin aku harap selama ini.
Mama
duduk di sebelahku ketika aku tengah berada di taman belakang. Aku menatap
kupu-kupu yang dengan bebas bisa terbang kemanapun mereka suka, mereka sangat
gesit saat terbang, bebas berjalan dimana mereka mau serta menebar keindahan
bagi sekitarnya, layaknya aku dulu. Namun nyatanya, sekarang aku hanya seperti
seekor ulat yang merugikan orang lain tak memiliki kemampuan untuk melakukan
suatu hal apapun.
“Rara
sedang ngapain di sini sendirian? Mama temenin, ya?”
“Rara
pengen jadi kupu-kupu, Ma, yang bisa terbang kemanapun mereka mau. Tapi
kenyataanya Rara layaknya ulat yang hanya bisa menebar luka. Maafin Rara ya
selama ini Rara hanya bisa menyusahkan kalian.” Perlahan butiran bening pun
membanjiri pelupuk mata.
“Bukannya
seekor kupu-kupu tercipta dari seekor ulat? Rara, dalam kehidupan ini nggak
semua tentang keindahan. Terkadang kita harus merasakan kepahitan hidup guna
membangun mental, semesta punya pilihan dan kita sendiri lah yang memilih opsi
tersebut. Apakah kita ingin bahagia atau memilih diam dan bertahan dalam
keterpurukan. Tuhan percaya Rara kuat, makanya Tuhan ngasih kamu ujian seperti
ini.” Dengan bijaksana, mama menyemangatiku. Mama memelukku dan mengelus
kepalaku, kehangatan menjalar ke setiap organ. Terasa sedikit demi sedikit
bebanku terbantu berjatuhan.
“Sekarang
apa lagi yang bisa Rara banggakan? Kaki Rara sudah nggak sempurna, Ma,”
“Tidak
sempurna bukan berarti tidak bisa melakukan apapun. Kamu masih punya yang lain,
tangan kamu lengkap. Indera kamu yang lain masih berfungsi dengan sangat baik.
Bagaimana cara menjadi sempurna itu pun kamu yang menentukan. Mama bangga
banget sama Rara. Rara Mama kuat. Mama bakal terus mendukung apapun yang
terbaik buat kamu. Because you are my
life,” kata Mama. Mama mengelus tanganku sembari tersenyum menunjukkan
ketulusan seorang ibu.
Papa
dan Kak Juan datang di sebelahku, Papa mengecup keningku “Papa bangga punya
Rara, jadikan ini sebagai motivasi untuk kamu lebih kuat lagi, oke? Ada Papa, Mama,
dan Kak Juan yang akan selalu ada untuk Rara.” Aku tersenyum, sedangkan Kak
Juan sekarang lebih pendiam. Khawatir emosiku tak terkontrol, ia memilih diam
dan sangat sabar menerima makian dariku setiap hari.
“Kakak,
maafin Rara ya. Omongan Rara selama ini nyakitin hati kakak. Rara selalu
menyudutkan kakak, Tentang kecelakaan itu sebenarnya itu bukan salah kakak,
tapi Rara terlalu maksain ego Rara. Rara masih belum bisa menerima ini semua.
Rara mohon maafin Rara bantu Rara untuk bangkit dari semua ini, ya?”
“Kalo
kakak nggak mau gimana?” Tanya kakak, aku mengernyitkan dahiku terkejut.
Kak
Juan pun terkekeh “Bercanda.” Aku menghembuskan nafasku lega, lalu kami
terkekeh.
“Membuat
kamu selalu tersenyum itu sudah menjadi tanggung jawab kakak sebagai kakak
kamu. Tugas kakak melindungi kamu, pastinya juga kakak harus buat kamu
tersenyum. Kakak juga minta maaf udah sempat buat kamu hampir menyerah.” Kami
berpelukan setelah itu.
Keluarga
yang memberiku kenyamanan, semua mereka berikan kepadaku secara cuma-cuma. Aku
bangga memiliki mereka, mereka yang menerima segala kekuranganku ketika semesta
tak lagi mengizinkanku menggapai cita. Hari itu dorongan semangat kembali hadir
ke dalam jiwa.
Malamnya
aku menatap bintang dari balkon kamarku, kupandang bintang-bintang itu. Meski
cahaya bintang itu tak sempurna layaknya purnama, ia mampu memancarkan
keindahan kerlipnya bagi semesta. Darinya aku belajar bahwa aku juga harus
menjadi seperti bintang. Menjadi bersinar dengan caraku sendiri, mencipta
sebuah karya dengan sesuatu yang aku punya.
Kuambil
laptop ku dari atas meja berwarna krem itu, kubuka lalu kutuliskan sebuah sajak
disana. Berharap karya ku mampu tergantung diatas langit impian, menjadi salah
satu dari ribuan bintang.
Dear semesta,
Pelajaran yang kau berikan begitu mengesankan
Meninggalkan goresan luka, menghilangkan seribu
tawa
Dalam sekejap mampu merubah suasana
Yang semula berseri kini terlihat kosong dalam
tatapan
Dibalik itu, kau sangat adil
Memberiku kekuatan melalui kehangatan
Keluarga yang sempurna
Mengalirkan kekuatan dalam setiap doa
Ketika aku tak sanggup lagi menjadi purnama
Aku ingin menjadi bintang
Yang menerangi semesta dengan kemerlipnya
Kutulis bait demi bait, bersama harapan aku sematkan. Aku yakinkan hati bahwa ada
pelangi indah setelah batuan terjal. Memang benar hidup adalah sebuah pilihan,
kita lah yang menjadi pemeran utama dalam setiap skenario Tuhan yang telah
ditetapkan.
Tugasku
sekarang tak lain merelakan dunia lariku, mencoba beralih menuju sebuah karya.
Bukankah semua justru terlihat lebih lengkap dan sempurna? Aku dengan dunia
karya dan kakak dalam dunia olahraga. Terlihat serasi bersama angan yang
menjadi padu. Membanggakan orang yang terkasih dengan purnama dan bintang yang
saling memberi kasih.
Tamat.
0 Comments: