(Sesi Diskusi Interaktif oleh Pembicara dalam Rangka Menuju Pilkada 2024 di Hutan FISIP UNS pada Selasa (21/05) / Dok. Adila) |
Lpmvisi.com, Solo — HMI FISIP, KMAP FISIP, dan BEM UNS berkolaborasi membuka diskusi interaktif bertajuk “Menuju Pilkada 2024: Otonomi Daerah dalam Cengkraman Pengaruh Politik Pusat?” pada Selasa, (21/05) dalam rangka menuju Pilkada serentak 2024. Diskusi umum ini berlangsung di hutan FISIP Universitas Sebelas Maret pukul 15.00 WIB hingga 17.30 WIB.
Menteri Relasi dan Jejaring BEM FISIP UNS 2024, Ervina Septianingsih selaku moderator membuka diskusi “Menuju Pilkada 2024: Otonomi Daerah dalam Cengkraman Pengaruh Politik Pusat?” yang kemudian dilanjutkan dengan pengantar materi oleh Prianda Defri, Ketua Himpunan Mahasiswa Administrasi Publik (KMAP) FISIP UNS 2024. Defri mengawali dengan pemaparan cikal bakal Pilkada dan kaitannya dengan KPU serta Bawaslu. Ketua KMAP tersebut menerangkan bahwa Pemilu yang dipilih oleh rakyat pertama kali diadakan pada tahun 2004, dan Pilkada belum termasuk di dalamnya. Pada tahun 2005 baru Pilkada bebas dipilih oleh rakyat. Bawaslu saat itu masih dengan nama Panwaslu, dan baru diganti pada tahun 2009. Ia juga menekankan pertanyaan yang muncul terkait otonomi daerah, “Ketika daerah secara masif diberikan kekuasaan untuk memilih para wakil rakyat, maka bagaimana KPU dan Bawaslu dapat terealisasikan dengan baik? apakah tidak ada intervensi dari pihak-pihak lain?” tambahnya.
Diskusi dilanjutkan dengan pemaparan materi inti oleh Mahib Firuzabadi, Departemen Pemerataan Kampus HMI FISIP UNS, yang menyinggung abuse of power dalam kepemimpinan, “Kekuasaan yang bebas dan tidak terbatas ini menimbulkan potensi penyelewengan, hal ini dapat memicu KKN, ini sulit diatasi karena memerlukan kesadaran individu,” pungkasnya.
Abinaya Fikri Nayatoma, Menteri Analisis Strategis BEM UNS 2024 menjadi pembicara ketiga sore itu dengan tambahan kritik terkait penurunan desentralisasi, “Letupan semangat reformasi tidak bertahan lama, belum sampai 5 tahun demokrasi kita telah dibajak dan mengalami penurunan. Apa yang sebenarnya terjadi? Mengapa desentralisasi yang kita cita-citakan tidak membawa perubahan?” tanyanya. Abinaya menerangkan kembali opininya terhadap pemerintah elit, “Kita dihadapkan dengan pemerintahan yang ambigu, sebetulnya kita sudah mempunyai ciri pemerintahan yang demokratis, akan tetapi muncul ciri dikuasai oleh pemerintah elit,” tambahnya sekaligus mengakhiri sesi pemaparan materi diskusi interaktif.
Sesi Q&A atau feedback dari audiens berlangsung intens dengan salah satu pertanyaan mengenai cara mengarahkan anak FISIP agar lebih peduli dengan politik di Indonesia. Defri menjawab dengan mengarahkan opini publik terkait politik. “Saat ini lingkungan menganggap bahwa politik adalah sesuatu yang berbelit-belit. Karena dihadapkan dengan sesuatu yang berbelit-belit maka timbul rasa malas. Mahasiswa adalah salah satu sumber menjadi seseorang yang dipercaya, maka dari itu, saat kita mempunyai jabatan di kampus, sebarkanlah kepada teman lain tentang semangat kepedulian terhadap politik,” tuturnya.
Diskusi publik yang hanya dihadiri oleh 20 audiens menandakan bahwa mahasiswa FISIP masih kurang peduli terhadap perpolitikan di Indonesia. Para pembicara berharap agar diskusi seperti ini dapat terus dijalankan untuk mematik semangat politik. Seperti yang diungkap oleh Mahib tentang keinginannya dalam membangun semangat para mahasiswa, “Hidup yang tidak pernah dipertaruhkan, tidak akan pernah dimenangkan,” tutupnya pada acara sore hari itu. (Adila, Reva)
0 Comments: