(Ilustrasi Neuro-Sexism / Dok. Internet) |
Oleh: Intan Fajriyah dan Angga Pratama
Lpmvisi.com, Solo – Literasi dan perekonomian merupakan dua hal yang saling bersinggungan, masing-masing bagian memainkan peran penting untuk membentuk kesadaran manusia tentang tata cara hidup dan berproduksi. Perkembangan literasi di masing-masing belahan dunia memiliki variasi yang beragam, hal ini dapat dilihat pada peringkat yang disematkan di masing-masing negara. Misalnya, Finlandia dengan tingkat literasi tertinggi dan menduduki peringkat nomor satu di dunia dan Indonesia yang menduduki peringkat ke seratus di dunia, dengan kata lain berada di bawah Singapura yang menduduki peringkat ke delapan puluh empat. Peringkat ini terus mengalami perubahan dan pembaruan dari waktu ke waktu, yang dapat dilihat pada Data Panda (2024). Literasi dalam bidang seni dan budaya misalnya pada bidang sastra. Karya sastra memiliki peran yang penting dalam menentukan arah kebudayaan suatu bangsa. Sehingga, kesenjangan di dalam literasi menyumbang permasalahan yang cukup serius bagi masyarakat, misalnya di bidang ekonomi. Masyarakat yang tidak terliterasi dengan baik dapat menyebabkan kegagalan pemahaman terkait siklus dan kemandirian ekonomi, sehingga tidak jarang dapat membuka peluang bagi terbentuknya segmentasi pasar yang cukup tajam di masing-masing kelompok yang dengan “sengaja” dibentuk untuk maksimalisasi pemasaran dan penyerapan komoditas.
Lingkungan atau segmentasi yang sudah tidak mampu menyerap komoditas pada akhirnya akan berakhir ke dalam jurang eksploitasi lanjutan, khususnya dimanfaatkan sebagai penghasil tenaga kerja yang dapat diupah dengan sangat rendah. Karena kemampuan absorbsi komoditas di wilayah tersebut sudah tidak lagi maksimal, dan yang tersedia hanya tenaga kerja yang sewaktu-waktu dapat ditarik atau dikeluarkan dari proses bisnis. Lingkungan yang tidak memiliki tingkat literasi yang baik cenderung “serampangan” menerima propaganda dan manipulasi psikologis yang dilakukan oleh para kapitalis yang dianggap “memposisikan” suatu masyarakat sebagai bagian penting di dalam masyarakat, khususnya sebagai konsumen aktif. Akan tetapi, hal ini bukanlah sebuah keseriusan yang benar-benar diharapkan oleh para kapitalis karena mereka hanya mengharapkan masyarakat tetap tidak terliterasi dengan baik, khususnya terus menjaga adanya perpecahan dan segala bentuk objektivikasi yang dapat menimbulkan hegemoni baru di dalam masyarakat, salah satu cara yang dilakukan melalui perkembangan sastra populer yang seksis dan “memperdagangkan” tubuh manusia secara tekstual.
Kenapa Sastra Populer Problematik?
Dewasa ini perkembangan teknologi, ekonomi, dan literasi di seluruh dunia pada dasarnya mengalami pasang-surut yang cukup siginifikan, khususnya terjadi banyak penyesuaian di berbagai bidang yang disebabkan oleh sistem kapitalisme yang menuntut adanya pengejaran keuntungan di segala aspek yang mendorong banyak pelaku ekonomi, hingga para intelektual untuk menyesuaikan diri mereka terhadap kebutuhan pasar. Hal ini dilihat sebagai salah satu upaya yang mendorong perkembangan agar masing-masing sektor, khususnya sastra. Tidak kehilangan eksistensinya dan terus mendapatkan pengagumnya, sehingga produk-produk sastra dapat hadir di pasaran dan menyumbang angka yang cukup bagi pertumbuhan perekonomian di sebuah wilayah. Jika kita berbicara tentang sastra, salah satunya melalui kacamata ekonomi. Maka kita akan menemukan bahwa terdapat korelasi yang cukup menarik antara sastra dan neuroeconomy yang masing-masing di antaranya berkolaborasi di titik kesadaran seseorang untuk terinfluence agar membeli atau mengonsumsi karya-karya tertentu, khususnya pada karya sastra populer.
Menurut Kayam dalam Jatmiko (2015) yang ditulis pada jurnalnya mengatakan, bahwa sastra populer dianggap sebagai perekam kehidupan atau realita yang tidak banyak diperbincangkan, dalam hal ini yaitu membicarakan kembali tentang dunia yang serba mungkin. Selain itu, sastra populer juga mengedepankan selera pasar atau selera masyarakat. Sekaligus berkaitan erat dengan budaya populer, hal serupa juga disinggung oleh Adorno dalam Jatmiko (2015) pada jurnalnya, mengenai kebudayaan industri yang telah mendominasi dan menentukan arah seni dan kebudayaan berdasarkan selera yang diinginkan. Sesuatu yang disebut baru, pada dasarnya dalam kebudayaan industri tidaklah benar-benar baru. Arah seni atau kebudayaan, yang dimaksud yaitu sastra pada dasarnya memproduksi sesuatu yang sudah hadir, ada, dan dipercaya sejak dulu. Seperti pemisahan pekerjaan berdasarkan gender yang terdapat dalam buku-buku pelajaran, atau iklan-iklan yang menjual produk menggunakan narasi-narasi yang seksis. Sehingga tidak ada “yang benar-benar baru” dalam pemroduksian karya sastra, bahwa karya sastra tidak pernah berangkat dari ruang hampa. Seperti narasi seksisme yang sudah dibentuk sejak lama oleh budaya dan kelas dominan tertentu, seksisme sendiri menurut Lakoff pada jurnal yang ditulis oleh Eko Agus H (2023) merupakan ideologi yang mencerminkan suatu ketakadilan terhadap harga diri perempuan. Yang diinterpretasikan melalui bahasa, yang berbentuk ujaran dengan tujuan merendahkan seseorang melalui romantisasi dan objektivikasi tubuh perempuan, bahkan juga pada tubuh laki-laki. Karya sastra dengan narasi-narasi seksisme kemudian diproduksi besar-besaran oleh kapitalisme untuk memenuhi selera pasar yang mendorong pembentukan kultur baru.
Kebutuhan selera pasar inilah yang membuat sastra populer eksis di kalangan pembaca, akan tetapi selera pasar ini dimanfaatkan oleh kapitalisme untuk membentuk ideologi atau pemikiran masyarakat. Pembentukan ideologi yang dilakukan oleh kapitalisme pada dasarnya tidak menargetkan masyarakat secara menyeluruh, namun menargetkan unit-unit yang terdapat di masing-masing segmentasi pasar yang telah dibuat oleh para kapitalis untuk memasarkan komoditasnya. Hal ini sejalan dengan apa yang disampaikan oleh Keita (2014) perilaku manusia tidak hanya dicirikan oleh perilaku terbuka tetapi juga oleh motif dan alasan subjektif. Dengan peralihan paradigma dari ekonomi klasik menuju ekonomi neo-klasik yang menyebabkan analisis ekonomi tidak lagi berbasis pada faktor yang lebih nyata dan dengan sengaja diarahkan pada preferensi masyarakat atau individu untuk menentukan modus produksi dan jenis barang yang akan diproduksi, sehingga hal ini menempatkan manusia pada posisi yang sangat sentral sebagai agen penilai terhadap suatu komoditas. Dapat kita lihat dalam eksplorasi tema yang terjadi pada ranah sastra populer, yang memiliki peran penting dalam pembentukan ideologi di dalam masyarakat, salah satunya yaitu ideologi seksisme yang dilanggengkan dalam karya sastra populer. Beberapa judul karya sastra populer yang turut mengamini pemikiran seksisme yaitu Norwegian Wood dan Taukuru Tazaki Tanpa Warna dan Tahun Ziarahnya karya Haruki Murakami, Lelaki Terindah karya Andrei Aksana, dan masih banyak lagi. Di dalam beberapa karya sastra tersebut, penggambaran visual tubuh perempuan maupun laki-laki, digambarkan secara detil. Mulai dari rambut, mata, bentuk tubuh, hingga karakter yang kemudian diromantisasi dan diamini oleh penulis untuk “merangsang” atau mencuri perhatian pembaca.
Walter dalam (Fitri Amelia, dkk, 2022) ditulis pada jurnalnya, bahwa objektivikasi seksualitas dianggap sebagai sebuah ide pengalaman erotis seseorang yang melibatkan perempuan untuk dinilai secara visual. Pengalaman erotis ini digambarkan melalui kata-kata dalam novel, juga media-media yang menggambarkan tubuh perempuan sebagai pemuas hasrat belaka. Penggambaran ini juga berkaitan erat dengan pornografi, sehingga disebut sebagai objektivikasi perempuan yang mengarah pada pelecehan seksual.
Misalnya, pada kutipan berikut.
“Tubuhnya bongsor dan berisi, buah dadanya padat dan besar meski baru berusia enam belas tahun. Berjiwa independen, berpendirian teguh, berbicara dengan cepat, dan punya otak yang berputar secepat lidahnya.” (Murakami, 2023:10)
“Buah dada yang bulat menonjol, putingnya yang kecil, lekukan pusar, pinggang, kemudian bayangan kasar dari bulu-bulu halusnya bagai alunan kecil di permukaan danau yang tenang, semuanya berubah-ubah bentuk.” (Murakami, 2023: 195)
“Begitu sepadan dengan penampilan fisiknya yang mengundang decak. Membuat mata rela tak berkedip sekejap pun. Mengagumi karya yang tiada tandingan. Jantan. Gagah. Memukau. Menggoda…” (Aksana, 2015: 20)
“Rafky duduk seenaknya. Dengan kedua kaki berselonjor dan mengangkang. Celana jeans-nya yang ketat memperlihatkan semua lekukan kejantanannya.” (Aksana, 2015: 22)
Pada kutipan-kutipan tersebut, baik Haruki Murakami maupun Andrei Aksana, menjadikan detil visual sebagai modal pembaca untuk berimajinasi. Yang tentu saja imajinasi mengenai seksualitas, bahkan mengarah pada objektivikasi tubuh. Tubuh perempuan digambarkan dan diimajinasikan untuk mengundang hasrat pembaca, hal inilah yang menjadi cikal bakal dari pelecehan seksual dan pemikiran seksisme yang bercokol kuat di masyarakat yang mengonsumsinya. Dua contoh karya sastra populer di atas hanyalah sebagian kecil tentang seksisme yang dilanggengkan oleh penulis, bahwa tidak hanya perempuan tetapi juga lelaki memiliki potensi yang sama dalam citra yang dinarasikan pada karya sastra. Peluang yang besar ini dilihat oleh kapitalisme untuk meningkatkan surplus value atau memperoleh profit, sehingga karya sastra tersebut diminati oleh pembaca-pembaca khususnya yang memang sudah terhegemoni dengan pemikiran-pemikiran seksisme. Hegemoni tersebut bisa berasal dari media, iklan, video porno, bahkan justru diwujudkan dan dilanggengkan pula dalam sastra populer. Hal ini yang kemudian dilihat sebagai “masalah” atau menjadi kritik untuk sastra populer itu sendiri, romantisasi tubuh, pemandangan, dan hal-hal trivial lain yang mengakibatkan sastra populer hampir menenggelamkan isu serius yang justru lebih penting dari sekadar penggambaran detil-detil visual. Isu mengenai kesadaran gender dan pelecehan seksual, misalnya. Beberapa isu penting justru tenggelam karena sastra populer didesain untuk membuat pembaca teralihkan, melalui romantisasi-romantisasi tubuh. Terlebih karena disebut sebagai “hiburan”, maka pembaca–khususnya masyarakat kita menganggap karya sastra populer tidak memerlukan pemikiran kritis ketika membacanya.
Jika kita memperhatikan lebih lanjut, segmentasi pasar buku-buku sastra populer terlihat cukup banyak tersebar di kalangan masyarakat. Haruki Murakami dengan bukunya yang berjudul Norwegian Wood yang terbit pada tahun 1987 untuk pertama kalinya berhasil membuat Murakami menjadi superstar di Jepang dan hal ini semakin diperkuat dengan minat para pembaca karya sastra populer, khususnya karya-karya Murakami. Yang berhasil mendorong sutradara Tran Anh Hung untuk mengadopsi Norwegian Wood ke dalam sebuah film dengan judul yang sama. Basis penggemar karya Murakami sangat kuat, hal ini terlihat dari pendapatan kotor yang diperoleh dari film Norwegian Wood tersebut sebesar $19,144,719 di seluruh dunia. Dengan kata lain, karya-karya yang menampilkan unsur seksis dan objektivikasi memiliki pengaruh yang sangat luas di beberapa kalangan masyarakat sehingga hal ini menjadi celah bagi terbentuknya eksploitasi dan manipulasi yang dapat dilakukan oleh sistem kapitalisme, khususnya dengan memengaruhi cara berpikir dan peran manusia sebagai decision-maker yang terlihat dari upaya yang dilakukan oleh para pemikir ekonomi neo-klasik melalui penerapan pendekatan ordinalis dan kardinalis. Perlu diperhatikan bahwa pendekatan kardinalis menyaratkan adanya perhitungan yang lebih “ketat” yang disajikan melalui analisa kuantitatif, sehingga dianggap dapat menghasilkan analisis yang lebih “saintifik” dan mendorong adanya penerapan yang lebih luas. Pendekatan ini mengupayakan adanya pengukuran dalam skala besar yang melibatkan seluruh lapisan masyarakat sehingga penilaian yang terjadi akan menghasilkan keputusan ekonomi atau produksi yang dianggap “mampu” untuk merangkul seluruh kebutuhan dan keinginan masyarakat secara luas. Akan tetapi, pendekatan ini dianggap gagal atau tidak memadai karena banyak kondisi yang mampu memengaruhi setiap orang atau masyarakat, bahwa faktor eksternal tersebut tidak dapat dikendalikan dan menyebabkan ketidakmungkinan untuk memetakan secara khusus pilihan dan keinginan masyarakat (Keita, 2014).
Melalui ketidakmampuan pendekatan tersebut, khususnya kardinalis. Terjadi upaya untuk melakukan modifikasi melalui pendekatan ordinalis dengan hanya memetakan preferensi seseorang secara umum sehingga cara yang dianggap optimal untuk melakukan manipulasi atau hegemoni di dalam masyarakat melalui banyaknya segementasi yang harus diciptakan di setiap lapisan, hal ini dapat dikatakan sebagai prosedur “layer in layer” sehingga di dalam kelompok yang besar akan timbul kelompok kecil lainnya yang saling menjaga status quo masing-masing. Dengan kehadiran segmentasi yang lebih ketat, maka hal ini akan mempermudah para kapitalis untuk menyebarkan gagasan atau hegemoni yang dibutuhkan untuk meningkatkan penyerapan penjualan komoditas tertentu tanpa harus mengkhawatirkan adanya gangguan yang bersifat kolektif dan serentak. Individualisme yang ada saat ini merupakan hal yang diperhatikan oleh sistem kapitalisme karena celah tersebut mampu mendorong adanya penyerapan sebuah tren atau kultur baru dengan metode sporadis di masing-masing layer di setiap segmentasi yang ada. Proses hegemoni dan manipulasi yang bersifat sporadis ini bertujuan untuk membuat “sesuatu” menjadi rasional, hal ini tidak dapat dilakukan dalam skala besar karena akan menimbulkan bentrokan atau perselisihan yang berisiko tinggi dan berpotensi menggagalkan sebuah proses bisnis. Dengan pergeseran secara bertahap, hal ini dapat menimbulkan dorongan dengan memanfaatkan rasa takut manusia, khususnya fear of missing out (FOMO). Selanjutnya, banyak layer di masing-masing segmentasi akan berupaya untuk merasionalisasikan sebuah tren atau kultur baru, hal ini selaras dengan postulat ekonomi bahwa setiap manusia adalah rasional. Dengan demikian hal ini memberlakukan asumsi Hegelian yang menyatakan apa yang nyata adalah rasional dan apa yang rasional adalah nyata, proses rasionalisasi yang telah terhegemoni ini akan menghasilkan kesadaran manusia yang lebih premature dari yang sebelumnya, khususnya ketika hal tersebut justru melanggengkan seksisme dan objektivikasi.
Implikasi Sastra Populer dalam Membentuk Seksisme Ekonomi
Kegiatan ekonomi atau perekonomian melibatkan berbagai aspek, salah satunya adalah produksi. Pada ranah produksi melibatkan berbagai faktor dan elemen masyarakat yang bertujuan untuk menghasilkan suatu barang atau jasa, yang nantinya dapat memberikan keuntungan bagi masyarakat itu sendiri (produsen independen) atau para kapitalis. Untuk menjalankan kegiatan produksi, maka dibutuhkan beberapa prakondisi sehingga proses produksi dapat berjalan, salah satunya adalah tenaga kerja. Komponen utama tenaga kerja adalah manusia yang bekerja, yang meliputi laki-laki dan perempuan, tua dan muda, atau buruh kasar dan intelektual. Masing-masing bagian yang terlibat di dalam produksi tersebut memainkan peran penting sehingga tujuan-tujuan yang telah ditetapkan dapat tercapai, di dalam sirkulasi tenaga kerja dan pasar tenaga kerja yang ada saat ini seringkali terjadi proses seleksi yang ketat. Misalnya, melalui segenap peraturan yang “diskriminatif” dan menjadikan manusia sebagai “objek” atau “mengobjektivikasi” seseorang. Seperti, berpenampilan menarik atau good looking.
Terlihat tidak ada yang salah dengan peraturan tersebut, namun jika kita analisis lebih lanjut terlihat bahwa kualifikasi tersebut mengandung unsur diskriminatif, yang di dalamnya tidak memiliki acuan pasti seperti apa dan bagaimana seseorang dapat dikatakan “good looking” dan hal tersebut dapat mendorong alam bawah sadar manusia sebagai decision maker menjadi lebih seksis dan mengobjektivikasi manusia lainnya dengan acuan-acuan: wajah yang merona, tubuh yang langsing, lengan yang indah, dada yang bidang, atau bibir yang menggoda. Perlu kita pahami bahwa standar yang ada saat ini merupakan hasil dari konstruksi kapitalisme, khususnya melalui budaya-budaya yang berkembang dari Korea atau Jepang, mengenai standar kecantikan atau ketampanan tersebut yang dengan sengaja diciptakan untuk meningkatkan penjualan dan persebaran bisnis di bidang kecantikan. Hal ini kemudian mengakibatkan adanya dorongan dan manipulasi pada beberapa korteks yang ada di dalam otak manusia (melalui impuls eksternal) sehingga setiap orang mulai melihat diri mereka sebagai “makhluk yang cacat” karena tidak bisa mengikuti standar kecantikan yang sedang tenar dan mendorong masyarakat menjadi agen-agen pembanding fisik seseorang.
Jika kita tinjau lebih lanjut ke dalam konteks sastra populer, kondisi tersebut juga didukung oleh keberadaan beberapa karya sastra populer yang cenderung seksis dan melakukan objektivikasi tubuh manusia seperti yang dilakukan oleh Murakami melalui penggambaran tubuh seorang tokoh (Naoko) melalui sudut pandang tokoh lainnya (Watanabe). Atau yang dilakukan oleh tokoh Rafky pada tokoh Valen, narasi yang dihadirkan dalam novel mengarahkan pembaca untuk fokus pada bagian-bagian visualnya saja. Bahkan isu penting yang seharusnya diusung di dalam novel tersebut menjadi bias, pembaca dibuat terlena dan lupa dengan menikmati detil-detil visual yang dihadirkan. Tentu saja, melalui karya-karya tersebut masyarakat kemudian memiliki anggapan tentang standar “cantik” dan “ganteng” itu seperti apa. Masyarakat dibuat tidak kritis terhadap isu pelecehan seksual, kesadaran gender, karena bahkan di dalam karya sastra saja mengamini narasi-narasi berbentuk pelecehan tersebut.
Keadaan ini menyebabkan masyarakat tidak menyadari bahwa yang mereka konsumsi, melalui media, video porno, iklan bahkan karya sastra populer juga turut menyumbang realita-realita semu yang terkonstruksi dengan baik sehingga menjelma realita yang konkret dan aktual. Peran kapitalisme dalam membentuk ideologi tersebut terlihat melalui persebaran atau hegemoni yang salah satunya dapat ditemukan dalam bentuk karya sastra populer. Kondisi ini seakan menyatakan bahwa karya sastra yang menghibur itu tidak perlu yang membuat kita bisa berpikir kritis dengan keadaan yang sebenarnya penuh dengan “distopia”, kekosongan kekritisan dalam berpikir ini semakin memperkuat posisi yang menyatakan bahwa jika karya sastra populer hanya ditujukan hiburan maka seharusnya “dinikmati saja” tanpa harus berpikir secara kompleks untuk memperhatikan sisi-sisi yang turut menyumbang permasalah di masa depan. Tentu saja ini menciptakan kesenjangan yang cukup jauh antara realita dan karya sastra, yang pada awalnya karya sastra memiliki tujuan untuk menciptakan arah sebuah kebudayaan bangsa melalui pemikiran-pemikiran dan narasi-narasi. Justru semakin hilang, karena hadirnya kepentingan para kapitalis yang mengusung ide atau gagasan tentang objektivikasi dalam sastra populer. Dengan demikian, selain menilik pada sejarah sastra mengenai “label” sastra populer dan kanon. Sastra populer perlu bekerja sama dengan ekonomi untuk memperhatikan pembentukan “label” sastra populer, sebagai media dalam mengangkat isu-isu teraktual yang bertujuan untuk menghapuskan kesenjangan yang terjadi. Tentu, hal tersebut bukan menggunakan pendekatan berbasis kapitalistik atau neoliberalisme karena hal ini sama saja menyerahkan diri ke dalam mulut harimau. Untuk mengkritik karya sastra populer dan merekonstruksi ulang sistem perekonomian, maka dibutuhkan pendekatan yang beroposisi dengan sistem kapitalistik atau neoliberalisme, hal ini dapat kita temukan dalam beberapa analisa pendidikan, literasi, dan ekonomi yang menggunakan pendekatan yang lebih liberatif atau egalitarian.
Individualisme yang diciptakan oleh kapitalisme mendorong rakyat menjadi terpecah ke banyak segmentasi dan melemahnya kesadaran kelas, bahwa tujuan sesungguhnya kapitalisme adalah mengirimkan berbagai informasi yang dapat mendukung proses eksploitatif mereka untuk meningkatkan profit dan terus menghegemoni rakyat agar kesadaran kolektif “sulit” terbentuk. Kondisi ini erat dengan “kuasa” untuk mempertahankan posisi politik yang menampakkan raut wajah politik dan nasib kesejarahan sebuah negeri, ibarat buku tertutup bagi kita jika kita tdak mengetahui peri-kehidupan ekonomi dan semua akibat sosial yang ditimbulkannya (Luxemburg, 1977). Dengan kondisi masyarakat yang semakin dibutakan oleh realita-realita semu tersebut, kondisi perekonomian dan budaya literasi yang tersebut justru semakin menjaga siklus penindasan dan menunda adanya gerakan kolektif karena sistem neuron yang ada di otak manusia, khususnya pada bagian prefrontal ventromedial cortex dan ventral striatum yang berkorelasi untuk menentukan penilaian subjektif terus-menerus diracuni oleh pemikiran seksis dan mengobjektivikasi manusia sebagai “objek” pemuas hasrat dibandingkan sebagai unit-unit revolusioner untuk melakukan transformasi sosial. Fenomena tersebut muncul sebagai akibat dari tindakan-tindakan praktis dalam konsumsi dan pembentukan kultur baru, untuk maksimalisasi komoditi yang didasari oleh dorongan modal yang tak terelakkan untuk berekspansi ini secara bertahap telah membangun pasar dunia, menghubungkan ekonomi dunia modern, dan dengan demikian meletakkan fondasi bagi imperialisme, yang di dalamnya mengandung unsur seksisme dan objektivikasi (Luxemburg, 1913). Transformasi tersebut terjadi dan manusia terjebak ke dalam siklus ekonomi yang mereduksi makna “tubuh” manusia sebatas utilitas yang dimanfaatkan untuk meningkatkan laju pertumbuhan ekonomi, yang menjebak manusia ke dalam siklus neuro-sexism economics melalui seksisme dan objektivikasi dalam karya sastra populer. (Intan, Angga)
Daftar Pustaka
Aksana, Andrei. Lelaki Terindah. Gramedia Pustaka Utama, 2015.
Dewi, Fitri Amelia, et.al. “Bentuk Tindakan Seksisme Dalam Kumpulan Cerpen Karya Edogawa Rampo”. Kiryoku: Jurnal Studi Kejepangan, 6(1). 2022.
Herianto, Eko Agus. “Seksisme dan Misogini dalam Rubrik “Oi Mak Jang!” Harian Media 24 Jam”. Multiverse: Open Multidisciplinary Journal, 2(2), 173-193. 2023.
Jatmiko, Dheny. “Estetika Sastra Populer dalam Novel Mencari Sarang Angin Karya Suparto Brata.” Lakon, 4(1). 2015.
Keita, L. On the Problematic State of Economic “Science.” Africa Development / Afrique et Développement, 39(1), 93–124. 2014
Luxemburg, Rosa. (1977). The Industrial Development of Poland. Campaigner Publications
Murakami, Haruki. Norwegian Wood. Kepustakaan Populer Gramedia. 2023
Murakami, Haruki. Tsukuru Tazaki Tanpa Warna dan Tahun Ziarahnya. Kepustakaan Populer Gramedia. 2023
Suryajaya, Martin. Asal-Usul Kekayaan. Resist Book. 2016
Zak, P. J. Neuroeconomics. Philosophical Transactions: Biological Sciences, 359(1451), 1737–1748. 2004
0 Comments: