POSTINGAN TERKINI

6/recent/LPM VISI

Resensi Film Atas Nama Daun (Dokumenter Ganja, 2022)

 
(Poster film “Atas Nama Daun” / Dok. Internet)

Judul  : Atas Nama Daun

Produksi : Anatman Pictures 

Sutradara : Mahatma Putra

Produser : Anggi Panji Nayantaka dan Dominiquee Renee Makalew 

Durasi : 1 jam 10 menit 

Genre : Dokumenter

Tanggal Rilis : 24 Maret 2022

Pemain : Aristo Pangaribuan, Angki Purbandono, Dhira Narayana, Peter Dantovski, Sulistriandiatmoko, Fidelis Arie, dan Dwi Pertiwi

Narator : Tio Pakusadewo

“Atas Nama Daun” merupakan sebuah film dokumenter garapan Anatman Pictures yang mengangkat isu mengenai kriminalisasi ganja di Indonesia. Film yang disutradarai oleh Mahatma Putra ini menyoroti berbagai perspektif mengenai ganja, mulai dari sosial, hukum, hingga medis melalui kisah nyata para tokoh yang terlibat dalam pembuatannya. Film dokumenter ini terbagi menjadi lima bab yang membahas mengenai berbagai sudut pandang mengenai ganja. 

Bab pertama bertajuk “Atas Nama Riset”. Bab ini menampilkan seorang dosen hukum Universitas Indonesia, Aristo Pangaribuan, yang sedang menempuh program doktoral di University of Washington, Seattle. Rasa penasaran Aristo mengenai ganja yang menjamur di Amerika Serikat, sedangkan di Indonesia dikriminalisasi, menuntun Aristo untuk menulis sebuah karya ilmiah berjudul “Causes and Consequences of The War on Marijuana in Indonesia” mengenai kriminalisasi ganja di Indonesia yang menjadi dasar pembuatan film dokumenter ini selama dua tahun. 

Bab kedua, “Atas Nama Daun”, berfokus pada individu-individu yang pernah bersinggungan secara langsung dengan ganja dan kini menjadi aktivis. Tokoh pertama pada bab kedua yaitu Angki Purbandono, seorang seniman visual yang pernah dipenjara selama satu tahun akibat kepemilikan ganja. Selama di penjara, Angki membuat sebuah karya yaitu Prison Art, sekaligus untuk membuktikan bahwa kreativitasnya bukan pengaruh dari ganja. Angki kemudian memutuskan untuk bergabung menjadi aktivis di Lingkar Ganja Nusantara (LGN) yang memperjuangkan legalisasi ganja di Indonesia.

Sama halnya seperti Angki, tokoh kedua pada bab kedua yaitu Dhira Narayana juga tergabung dalam Lingkar Ganja Nusantara (LGN). Sebagai seseorang yang pernah menggunakan ganja, Dhira merasa bahwa ganja bukanlah sesuatu yang buruk. Dhira paham bahwa ganja merupakan barang ilegal dan tetap memiliki dampak negatif. Meski demikian, Dhira tetap berjuang hingga ganja dilegalkan di Indonesia. 

Bab ketiga yang berjudul “Atas Nama Hukum”, memberikan kita dua perspektif yang berbeda. Peter Dantovski, Ketua Yayasan Sativa Nusantara, juga pernah dipenjara sebanyak tiga kali akibat penggunaan ganja, memperjuangkan agar pemerintah dapat melakukan riset terkait ganja. Peter menggunakan ganja untuk meredakan nyeri akibat neuropati kronis yang dialaminya pasca kecelakaan yang menyebabkan tangan kirinya tidak bisa digerakkan. Peter sendiri merasa tidak keberatan apabila pemerintah melarang penggunaan ganja karena beranggapan bahwa ganja membuat masyarakat tidak produktif, asalkan harus didasarkan pada sebuah riset.

Sedangkan menurut kacamata hukum, Kombes Sulistiandriatmoko sebagai juru bicara Badan Narkotika Nasional 2017-2019 mengatakan bahwa regulasi di Indonesia tidak bisa dibandingkan dengan Belanda atau negara lain yang sudah memiliki regulasi yang sangat bagus. Apabila regulasi di Indonesia dilonggarkan, maka potensi penanaman ganja yang sangat besar itu tidak bisa diawasi distribusi dan penggunaannya. Selama Undang-Undang Narkotika pasal 112 masih berlaku, maka kita tidak bisa menutup ruang hukum untuk menahan mereka. 

Bab keempat yaitu “Atas Nama Cinta” menyajikan kisah emosional Fidelis Arie, seorang Pegawai Negeri Sipil yang menggunakan ganja untuk pengobatan istrinya. Istri Fidelis menderita penyakit syringomyelia yang bisa diobati dengan zat cannabinoid yang hanya ada pada tanaman ganja. Setelah melakukan eksperimen selama enam bulan dan membuahkan hasil, Fidelis berusaha mengajukan dispensasi pada Badan Narkotika Nasional untuk menanam ganja. Sayangnya, permintaan tersebut ditolak dan Fidelis ditahan. Kisah Fidelis berakhir pilu, istri Fidelis meninggal dunia 25 hari setelah Fidelis ditahan. 

Film dokumenter ini ditutup dengan menghadirkan seorang ibu yang harus kehilangan anaknya akibat penyakit cerebral palsy. Pada bab kelima yaitu “Atas Nama Hak Asasi”, Dwi Pertiwi berbagi pengalamannya dalam merawat Musa, anaknya, hingga harus terbang ke Australia demi mengusahakan kesembuhan anaknya melalui terapi dengan menggunakan ganja medis. Meski akhirnya Musa tidak dapat bertahan, Dwi tetap berjuang bersama ibu-ibu lainnya di Yogyakarta yang mengalami kasus serupa dengan mengajukan gugatan kepada Mahkamah Konstitusi terkait pelegalan ganja medis di Indonesia.  

“Atas Nama Daun” berhasil membuat kita melihat berbagai perspektif mengenai ganja di Indonesia. Film dokumenter ini mampu berbicara mengenai manfaat serta pro-kontra ganja dalam tiga aspek utama sekaligus, yaitu sosial, hukum, dan kesehatan. Hal tersebut diperkuat dengan pengalaman nyata para tokohnya melalui wawancara yang dilakukan oleh Aristo, yang menjadi kelebihan dalam film dokumenter ini.

Namun, kelemahan dari film ini yaitu lebih banyak menampilkan perspektif pro-legalisasi ganja tanpa diseimbangkan dengan argumentasi dari pemerintah sebagai institusi penegak hukum pembuat Undang-Undang. Hal tersebut membuat kita bertanya-tanya akan perspektif hukum Indonesia. Mengapa ganja terus dikriminalisasi, sedangkan kemanfaatan ganja di dunia medis sangat dibutuhkan? (Diva)


Posting Komentar

0 Komentar